REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Hasil inspeksi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyimpulkan, proses uji klinis obat Covid-19 yang dikembangkan Universitas Airlangga (Unair) bersama TNI AD dan Badan Intelijen Negara (BIN) belum valid. Rektor Universitas Airlangga Prof. Moh. Nasih menyatakan, tim peneliti Unair akan mengevaluasi dan segera menyempurnakan uji klinis obat Covid-19 yang diklaim menjadi yang pertama di dunia tersebut.
"Sebagaimana masukan dari BPOM, untuk selanjutnya tim peneliti juga menunggu dan akan mempelajari semua masukan tertulis dari BPOM," ujar Nasih melalui siaran tertulisnya, Kamis (20/8).
Nasih menegaskan, para ilmuwan yang ada dalam tim sangat terbuka untuk menerima masukan. Hal itu, sambungnya, tentu demi penyempurnaan obat tersebut. Apalagi, keberadaan obat tersebut dirasanya penting untukasyarakat, di tengah wabah Covid-19.
"Harapan utamanya agar hasil dari kombinasi obat tersebut segera bisa membantu mereka para pasien yang saat ini sangat membutuhkan penanganan," katanya.
Nasih juga menjelaskan, niatan tim peneliti semata-mata didasari rasa kemanusiaan untuk menolong pasien Covid-19 yang sangat membutuhkan perawatan dan pengobatan. Tentunya, kata dia, ikhtiar yang dilakukan bersama dengan banyak pihak tersebut bisa memberi jalan keluar bagi bangsa Indonesia untuk bersama-sama menghadapi pandemi virus Covid-19.
"Dengan masukan BPPOM maka Tim Peneliti Unair segera mengambil langkah cepat untuk segera menyempurnakan uji klinis sesuai masukan BPPOM," ucapnya.
Sebelumnya, BPOM menyimpulkan, proses uji klinis obat Covid-19 yang dikembangkan tersebut belum valid. Ada banyak hal yang masih harus diperbaiki agar obat tersebut dinyatakan valid dan mendapat izin edar BPOM.
"Dalam status yang kami nilai adalah masih belum valid dikaitkan dengan hasil inspeksi kami," kata Kepala BPOM Penny Lukito.
Penny mengatakan, pihaknya melakukan inspeksi terhadap proses uji klinis pada 28 Juli 2020. Adapun uji klinis dimulai pada 3 Juli lalu. Dari hasil inspeksi itu, muncul temuan kritis berupa tidak terpenuhinya unsur randomisasi atau pengacakan subjek uji klinis. Padahal, subjek dari suatu riset harus memenuhi unsur pengacakan agar merepresentasikan populasi.
Selain itu, proses uji klinis yang dilakukan Unair bersama TNI AD dan BIN ternyata melibatkan orang tanpa gejala (OTG) untuk diberi terapi obat. Padahal, sesuai dengan protokol uji klinis, OTG seharusnya tidak perlu diberi obat. Hasil uji klinis obat Covid-19 itu juga belum menunjukkan adanya perbedaan signifikan dengan terapi Covid-19 lainnya.