Selasa 31 Dec 2019 06:34 WIB

Busyro Khawatir Kasus Novel Dijadikan Etalase Politik

Peran masyarakat diperlukan sebagai pihak yang ikut mengawal kasus Novel.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Teguh Firmansyah
Catatan Kritis 2019. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas menyampaikan paparan utama saat diskusi akhir tahun 2019 di PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Senin (30/12).
Foto: Republika/ Wihdan
Catatan Kritis 2019. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas menyampaikan paparan utama saat diskusi akhir tahun 2019 di PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Senin (30/12).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas khawatir jika kasus Novel Baswedan hanya dijadikan sebagai etalase politik. Sebab, hal tersebut dapat mencemarkan nama baik aparat hukum. 

Menurutnya, saat ini masyarakat sudah semakin melek terhadap kasus Novel.

Baca Juga

"Jangan sampai ada penguatan ke sana (etalase politik), masyarakat dianggap dungu dengan cara-cara yang seandainya cara-cara itu ada bersifat etalase politik saja. Ini akan mencemarkan aparat hukum," katanya di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Senin (30/12).

Menurutnya, peran masyarakat saat ini sangat diperlukan sebagai pihak yang turut mengawal kasus tersebut. Sehingga, jalannya pengungkapan kasus ini dapat menemui titik terang dan transparan.

"Masyarakat sipil sebagai kontrol agar proses teror  terhadap Novel bisa transparan. Tapi sampai sekarang presiden tidak ada respon sampai sekali, akibatnya sampai Kapolri Tito selesai tidak ada hasil sama sekali," katanya.

Ia pun meminta dilakukannya proses reka ulang. Hal ini guna memastikan kebenaran terhadap kasus Novel.

Sebab, ia juga masih mempertanyakan perbedaan identitas yang dimunculkan oleh kepolisian antara sketsa dan wajah asli terduga pelaku.

Dengan reka ulang, katanya, diharapkan semua pihak dapat mencermati dengan baik dan kepolisian juga diminta untuk melakukan proses hukum yang transparan.

Ia juga meminta adanya penunjukan advokat yang independen dan bukan ditunjuk oleh Polri. "Transparan itu kan ada proses standar yang ditempuh Polri. Ujungnya proses di pengadilan, tapi kan ada proses reka ulang. Di reka ulang nanti semua pihak juga melakukan pencermatan untuk mengetahui kejujuran yang sesungguhnya," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement