REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan empat tersangka yang sudah meninggal dunia akan dibebaskan status hukumnya dengan penerbitan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3). Penerbitan SP3 tersebut seturut dengan berlakunya UU KPK 19/2019.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengungkapkan, empat nama tersangka korupsi yang sudah dinyatakan meninggal dunia tersebut, yakni Jeffry Tongas Lumbanbatu yang meninggal pada 2010. Politikus PDI Perjuangan itu, adalah salah satu tersangka dalam kasus korupsi cek pelawat dari Bank Indonesia.
Kedua, ada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) John Manulangga. Ia meninggal dunia pada 2016 setelah status tersangkanya tak lekang sejak 2014.
Nama lainnya, kata Febri, yakni Iken Basya Rinanda Nasution, tersangka kasus korupsi impor daging sapi pada 2010. Ia meninggal dunia pada 2010 akibat sakit jantung.
“Tambahan satu lagi (tersangka meninggal dunia) Fuad Amin,” kata terang Febri menambahkan.
Fuad Amin, adalah mantan Bupati Bangkalan, yang ditetapkan tersangka oleh KPK terkait dengan dugaan suap fasilitas penjara LP Sukamiskin. Ia meninggal dalam tahanan pada September 2019.
Komisioner KPK Alexander Marawata, dalam rapat dengan pendapat di Komisi III DPR RI mengungkapkan, KPK akan menerbitkan SP3 terhadap empat tersangka korupsi yang sudah dinyatakan meninggal dunia. Penerbitan penghentian perkara itu, lantaran berlakunya UU KPK 19/2019.
Selain menghentikan perkara terhadap tersangka yang sudah meninggal dunia, KPK juga mewacanakan menghentikan perkara terhadap tersangka korupsi yang tak bisa disidangkan kasusnya karena alasan sakit berat.
Pengajar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir, mengatakan, penerbitan SP3 oleh KPK terhadap tersangka yang sudah meninggal sudah tepat. Sebab, dia mengatakan, status meninggal dunia seorang tersangka, otomatis menghilangkan tuduhan dan penuntutan.
Menurut dia, tanpa adanya SP3 sekalipun, tersangka yang sudah dinyatakan wafat, otomatis menghentikan kasusnya. “Dalam istilahnya, berhenti demi hukum,” kata Muzakir saat dihubungi, Rabu (27/11).
SP3 seperti yang diamanahkan dalam UU 19/2019, kata Muzakir merupakan produk hukum dari jaksa penuntut atas berhentinya perkara tersebut. “Jadi secara prinsipnya, sudah benar kalau itu (tersangka meningga dunia) di-SP3,” ujar dia.
Sedangkan wacana SP-3 terhadap tersangka yang tak dapat dihadirkan ke persidangan lantaran mengalami sakit berat, kondisi tersebut sebetulnya tentatif. Sebab, kata Muzakir, perlu bagi Jaksa KPK meyakini apakah tersangka tersebut memang dalam kondisi sakit berat sehingga tak dapat disidangkan perkaranya.
Menurut Muzakir, apapun kondisi sakit parah tersangka korupsi, kepastian hukum harus tetap ada. Sakit parah memang memberi kompensasi bagi tersangka dengan tak dihadirkan dalam persidangan. "Itu alasan kemanusian," kata dia.
Akan tetapi, belum pasti perkaranya dapat dihentikan. Karena, KPK harus memastikan tersangka korupsi mengembalikan kerugian negara yang disebabkan perbuatan pidananya.
“Harus dipastikan dulu apa sakit beratnya. Kalau mau dihentikan, KPK harus memastikan uang negara yang dikorupsi itu dapat dikembalikan (oleh tersangka),” ujar Muzakir.