REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Lembaga-lembaga nonpemerintahan mulai mengungkapkan temuan dugaan tindakan berlebihan aparat keamanan saat kericuhan 21-23 Mei terjadi. Berdasarkan termuan itu, mereka mendesak pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) dan evaluasi menyeluruh pengunaan kekuatan oleh aparat keamanan terutama dari kepolisian.
"Tim gabungan harus melibatkan perwakilan masyarakat sipil," kata pakar hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar, sebagai salah satu penandatangan pernyataan alumni lembaga bantuan hukum, Ahad (26/5).
DPR diminta merekomendasikan sanksi tegas kepada pihak yang bertanggung jawab dan aparat yang diduga menggunakan peluru tajam serta melakukan tindakan kekerasan dalam proses pengamanan aksi massa.
Gabungan Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari YLBHI, KontraS, LBH Jakarta, AJI, Lokataru Foundation, Amnesty International Indonesia, dan LBH Pers juga mengungkapkan terjadinya pelanggaran HAM dalam penanganan kerusuhan 21-23 Mei lalu.
"Misal menyeret secara tidak perlu orang yang ditangkap hingga anggota kepolisian memiliki kesempatan untuk memukul," ujar perwakilan dari LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Ahad (26/5).
Selain itu, Nelson menjelaskan, berdasarkan hasil pantauan di lapangan, ditemukan adanya tindakan brutal kepolisian. Tindakan itu terjadi saat orang-orang yang ditangkap masuk ke kantor polisi. "Orang-orang yang diturunkan dari mobil, saat akan dimasukkan ke kantor polisi, dipukuli oleh polisi yang berbanjar," katanya.
Menurut dia, Gabungan Koalisi Masyarakat Sipil sudah memiliki 15 temuan awal dari peristiwa kericuhan 21-22 Mei lalu yang mengarah pada pelanggaran HAM. Temuan terhadap peristiwa itu terkait dengan pecahnya insiden, korban, penyebab, pencarian dalang, tim investigasi internal kepolisian, indikasi kesalahan penanganan demonstrasi, penutupan akses tentang korban oleh rumah sakit, dan penanganan korban yang tidak segera.
Temuan berikutnya terkait dengan penyiksaan, perlakuan keji, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat, hambatan informasi untuk keluarga yang ditahan, salah tangkap, kekerasan terhadap tim medis, serta penghalangan peliputan oleh jurnalis yang terdiri atas kekerasan, persekusi, perampasan alat kerja, dan perusakan barang pribadi. Temuan selanjutnya, yakni terkait dengan penghalangan akses kepada orang yang ditangkap untuk umum dan advokat dan pembatasan komunikasi media sosial.
Perwakilan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menuturkan, dengan temuan-temuan tersebut, gabungan koalisi masyarakat sipil memberikan beberapa rekomendasi.
"Komnas HAM, Ombudsman, Kompolnas, dan Komisi III dari DPR RI untuk segera mengevaluasi kinerja petugas Polri dalam aksi 21 dan 22 Mei dalam insiden-insiden yang berpotensi merupakan pelanggaran HAM," ujarnya.
Kerusuhan beruntun terjadi di sejumlah lokasi di Jakarta pada 21, 22, dan 23 Mei. Pada 21 Mei, aksi menolak hasil pilpres berlangsung tertib dan damai sejak siang sampai sekitar pukul 21.00 WIB. Namun, setelah massa bubar, sekitar pukul 23.00 WIB, datang sejumlah massa lain yang memicu kericuhan dengan merusak fasilitas pengamanan dan melempari petugas kepolisian.
Aparat kepolisian tampak menoleransi kelakuan perusuh yang datang belakangan tersebut hingga tengah malam. Dari pantauan Republika, memasuki pukul 00.24 WIB, Rabu (22/5), terdengar peringatan bagi massa aksi untuk membubarkan diri dari mobil pengurai massa (raisa).
“Ini adalah peringatan pertama!” Tiga menit kemudian terdengar suara serupa, lalu tiga menit selanjutnya keluarlah peringatan yang ketiga.
Selepas itu, keluar perintah penangkapan terhadap perusuh dari luar daerah. Aparat kepolisian juga mulai menembakkan gas air mata. Sebagian massa kemudian berlari menuju Pasar Tanah Abang, dan lainnya menyelinap ke dalam gang.