REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memasukkan sikap terdakwa perkara suap cek pelawat Nunun Nurbaetie yang melarikan diri sebagai bagian dari pertimbangan yang memberatkan tuntutan.
Tuntutan JPU KPK itu dikhawatirkan bisa membuat koruptor tidak takut untuk melarikan diri setelah 'merampok' uang negara.
"Kalau sikap Nunun yang tidak kooperatif dan menghalangi proses penyidikan dengan melarikan diri, bisa membuat koruptor berani melarikan dari kejaran aparat penegak hukum," kata Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PuSAKO) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, saat dihubungi Republika, Kamis (24/4).
Selain soal tidak dimasukkannya melarikan diri itu sebagai pertimbangan memberatkan, Feri juga melihat tuntutan JPU KPK terhadap Nunun termasuk ringan. Seharusnya, JPU menuntut Nunun dengan tuntutan maksimal yaitu lima tahun penjara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf b UU/31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut Feri, jika tuntutan seperti itu, maka tidak hanya koruptor yang tidak diberikan efek jera dalam perilaku korupsi. Masyarakat pun terkena dampak akibat tuntutan itu karena menilai tidak ada hukuman yang berat bagi pelaku korupsi. "Padahal korupsi itu adalah kejahatan luar biasa," kata Feri.
Nunun Nurbaetie Daradjatun dituntut empat tahun penjara dan denda sebesar Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan oleh JPU KPK. Jaksa menilai, Nunun terbukti bersalah pada dakwaan pertama yakni Pasal 5 ayat 1 huruf b UU/31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pertimbangannya, JPU KPK hanya mempertimbangkan hal yang memberatkan bahwa perbuatan Nunun merusak sistem tata pemerintahan, khususnya DPR.