REPUBLIKA.CO.ID, SAMBAS —Selama tiga bulan melakukan pendampingan dan riset lapangan di kawasan perbatasan Indonesia–Malaysia, tim Patriot UI menelusuri berbagai dinamika ekonomi masyarakat di kecamatan Paloh dan Sajingan Besar.
Proses perumusan rekomendasi dimulai melalui rangkaian focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan secara terpisah di kedua kecamatan dengan tema yang sama, yaitu “Rancangan Kelembagaan Ekonomi Kolaboratif Berbasis Potensi Lokal.” Di Paloh, FGD dihadiri oleh perangkat kecamatan, kepala desa, BUMDes, KMP, pelaku UMKM, dan penggerak wisata lokal.
Sementara itu, FGD di Sajingan Besar tidak hanya menghadirkan perangkat kecamatan dan para pegiat ekonomi, tetapi juga seluruh unsur kelembagaan pemerintah yang bertugas di PLBN Aruk.
Diskusi berlangsung lebih komprehensif dengan perspektif lintas-instansi yang mengelola aktivitas keluar-masuk barang dan pelintas batas. Perbedaan peserta FGD ini memperkaya pemahaman tim mengenai tantangan dan peluang masing-masing wilayah, sekaligus memperlihatkan kontras kebutuhan kelembagaan ekonomi antara dua kecamatan perbatasan tersebut.
Berdasarkan temuan tersebut, tim merekomendasikan dua model penguatan yang berbeda: pengembangan e-commerce lokal untuk masyarakat Paloh dan pembentukan koperasi perdagangan perbatasan bagi masyarakat Sajingan Besar.
Rekomendasi ini muncul dari pengalaman langsung empat anggota tim ekspedisi Patriot UI Azra Batrisyia, Sarah Soraya, Samuel Hotasi, dan Ray Frans yang melihat bagaimana kondisi lapangan sering kali tidak sejalan dengan potensi yang dimiliki warga. Di Paloh, misalnya, tim menemukan adanya kesenjangan harga yang sangat besar pada produk ikan Bakalang olahan.
Produk yang dijual warga Sebubus seharga Rp140 ribu rupiah per kilogram diambil oleh agen lokal, sementara produk dengan kualitas serupa di platform e-commerce nasional dapat mencapai harga hingga Rp350 ribu rupiah. Perbedaan harga ini menunjukkan betapa terbatasnya akses pasar warga Paloh, bukan karena mutu produk yang rendah, melainkan karena minimnya infrastruktur pemasaran digital dan ketergantungan panjang pada sistem distribusi tradisional. Di samping itu, kecamatan Paloh banyak menghasilkan produk pertanian dan perkebunan serta produk olahan laut yang berpotensi menghasilkan ekonomi kreatif seperti kerupuk ubur-ubur.
Menurut Azra Batrisyia, masyarakat Paloh sebenarnya memiliki kapasitas produksi yang kuat, tetapi tidak memiliki jendela untuk menampilkan produk mereka kepada pasar nasional lebih dikarenakan terbatasnya alat produksi dan pengolahan. Samuel Hotasi menambahkan bahwa e-commerce adalah jembatan paling praktis untuk menembus hambatan geografis, mengingat jarak antar desa yang tidak memungkinkan mobilitas cepat.
Tetapi paling tidak rencana pembangunan jembatan penghubung di Sungai Sumpit jika terealisasi, dampaknya bukan hanya mempercepat akses jalan tetapi juga jaringan internet yang lebih merata lagi.
Sementara itu, Sarah Soraya melihat peluang besar bagi UMKM lokal untuk berkembang jika mereka dapat dilatih dalam fotografi produk, manajemen katalog, hingga strategi pemasaran digital sederhana yang dibarengi dengan kekuatan jejaring media sosial tentunya, ke depan diharapkan ada pelatihan dan pendampingan khusus pemasaran e-commerce, ujarnya.
Hal ini jika terlaksana dapat meminimalisir masyarakat usia produktif pergi merantau sehingga pasar ekonomi lokal dapat tumbuh dan berkembang. Dari sinilah lahir gagasan pembentukan pusat layanan pemasaran digital sekaligus galeri dalam bentuk “Rumah E-Commerce Paloh” yang dapat dikelola oleh KMP atau komunitas sebagai motor penggerak.
Di sisi lain, Sajingan Besar menghadirkan dinamika yang sangat berbeda. Wilayah ini memiliki PLBN Aruk sebagai pusat perlintasan resmi yang setiap hari dilalui pekerja, pedagang, dan hasil bumi masyarakat. Di desa-desa sekitar, terutama Desa Sebunga yang sudah memiliki BumDes berupa layanan border to border dengan konsep shuttle Bus.
Warga desa secara individu melakukan kegiatan ekspor secara tradisional, dengan menjual produk hasil bumi dan pulang sambil membawa bahan makanan pokok dari Malaysia, sehingga tidak memberi posisi tawar yang kuat bagi masyarakat.
Ray Frans mencatat bahwa permintaan dari pasar Malaysia terhadap buah-buahan dan hasil pertanian Sajingan sangat tinggi, tetapi ketidakmampuan warga memasok barang secara rutin dan standar yang tidak terpenuhi membuat mereka tidak mampu memanfaatkan potensi pasar tersebut secara optimal, belum lagi kekurangtahuan warga terhadap sistem dan regulasi ekspor-impor.
Melihat kondisi ini, tim Patriot UI merumuskan gagasan pendirian Koperasi Perdagangan Perbatasan Sajingan, sebuah lembaga ekonomi resmi yang dirancang untuk menghimpun produksi warga, memastikan kualitas komoditas ekspor, dan menegosiasikan harga secara kolektif dengan pembeli dari Malaysia. Dengan keberadaan koperasi, seluruh proses mulai dari pengumpulan barang, penjaminan mutu, dokumentasi lintas batas, hingga logistik dapat dikelola dalam satu sistem terpadu.
Pemerintah Kecamatan Sajingan Besar menyambut baik gagasan pembentukan koperasi ini, karena selama ini aktivitas ekspor warga berlangsung secara individual dan tidak terkoordinasi. Pelakunya pun cenderung “itu-itu saja” segilintir orang yang memiliki jaringan dan keberanian menembus perbatasan, sementara warga lain tidak pernah terlibat karena tidak ada komunitas, paguyuban, atau kelembagaan yang membuka ruang partisipasi baru.
Akibatnya, harga yang diterima warga kerap jauh di bawah nilai pasar, dan mereka tidak memiliki daya tawar terhadap pembeli di seberang batas. Kehadiran koperasi diharapkan menjadi lembaga legal yang berfungsi sebagai pintu tunggal perdagangan lintas batas, yang bukan hanya menata alur ekspor, tetapi juga membuka kesempatan bagi lebih banyak warga untuk terlibat.
Rekomendasi berbeda antara Paloh dan Sajingan menunjukkan bahwa solusi ekonomi perbatasan tidak dapat diseragamkan. Paloh membutuhkan perluasan akses pasar melalui digitalisasi, sementara Sajingan membutuhkan lembaga yang dapat mengatur dan menstabilkan aktivitas ekspor warga. Meski berbeda, keduanya memiliki tujuan yang sama: meningkatkan pendapatan, memperkuat posisi ekonomi masyarakat, dan mengurangi ketergantungan pada tengkulak maupun jalur distribusi informal.
Bagi warga transmigran SP1—yang sejak 2012-an menghuni desa di ujung negeri ini—berharap rekomendasi ini dapat memberikan dampak langsung terhadap kesejahteraan mereka. Akses pasar yang lebih luas akan meningkatkan nilai jual produk, sementara koperasi perdagangan perbatasan dapat membuka peluang bagi petani dan pengusaha UMKM untuk masuk ke pasar Malaysia secara lebih teratur dan terorganisir.
Keempat anggota tim Patriot UI menegaskan bahwa rekomendasi ini tidak sekadar hasil analisis teknis, tetapi lahir dari suara masyarakat sendiri. Mereka menemukan semangat warga yang ingin berkembang, meski hidup di ujung negeri dan menghadapi berbagai keterbatasan. “Masyarakat di perbatasan ingin maju, ingin dihargai, dan ingin merasakan hasil kerja mereka secara adil,” ujar Azra lulusan S2 liguistik Universitas Indonesia.
Dua rekomendasi ini diharapkan menjadi langkah awal penguatan ekonomi di kawasan perbatasan Indonesia. Dari Paloh hingga Sajingan, dari pesisir hingga perbukitan, penguatan kelembagaan ekonomi diharapkan menjadi fondasi bagi lahirnya kemandirian dan kesejahteraan bagi masyarakat yang tinggal di garis terluar Republik Indonesia.
Keempat anggota tim Patriot UI menegaskan bahwa rekomendasi ini tidak dibuat dari belakang meja, tetapi lahir dari percakapan panjang dengan masyarakat dan observasi langsung di lapangan. “Warga perbatasan sangat ingin maju, mereka hanya membutuhkan lembaga yang melindungi dan menguatkan mereka,” ujar Azra dalam salah satu sesi diskusi. Dengan kerja bersama pemerintah daerah, kementerian terkait, Universitas-universitas serta warga setempat, dua rekomendasi ini diharapkan menjadi fondasi awal bagi perubahan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan di tapal batas negeri.