Sabtu 06 Dec 2025 16:03 WIB

Kisah Fendi, dengan Kuasa Tuhan Angkat Dua Ibu-Ibu Agar Selamat dari Banjir Sumbar

Banjir bandang datang terlihat seperti gulungan ombak besar.

Warga menyeberangi jembatan darurat  di Tanjung Raya, Agam, Sumatera Barat, Jumat (5/12/2025). Akses jalan darat di kawasan sekeliling Danau Maninjau yang sempat terputus akibat banjir bandang di lima titik pada Kamis (27/12) lalu saat ini telah bisa dilalui menggunakan sepeda motor.
Foto: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Warga menyeberangi jembatan darurat di Tanjung Raya, Agam, Sumatera Barat, Jumat (5/12/2025). Akses jalan darat di kawasan sekeliling Danau Maninjau yang sempat terputus akibat banjir bandang di lima titik pada Kamis (27/12) lalu saat ini telah bisa dilalui menggunakan sepeda motor.

REPUBLIKA.CO.ID, KOTA PADANG -- Fendi, warga Jorong Toboh, Nagari Malalak Timur, Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tak pernah menyangka kampung halamannya, yang selama ini damai dan tenang, luluh lantak dalam sekejap dihantam banjir bandang.

Rabu (26/11), sekitar pukul 15.00 WIB, Jorong (Dusun) Toboh, seperti perkampungan di Malalak Timur lainnya, porak-poranda diterjang sapuan banjir bandang yang tiba-tiba meluncur deras dari arah perbukitan.

Baca Juga

Dari rekaman video yang beredar, galodo, begitu warga setempat menyebut banjir bandang, terlihat seperti gulungan ombak besar berwarna putih yang menghantam tanpa ampun apapun yang dilaluinya, tak terkecuali perkampungan di bawahnya.

Situasi itu disaksikan Fendi dengan mata telanjang. Sebelum banjir bandang sampai ke pemukiman warga, ia mendengar secara jelas bunyi letupan-letupan keras dari arah perbukitan.

Mendengar dan melihat galodo, Fendi spontan berteriak ke arah warga di sekitar kampung itu agar mereka segera lari dan menyelamatkan diri. Ia dan beberapa warga dengan sigap berlari ke sisi yang aman.

"Saya melihat langsung dari bukit itu air berwarna putih dan kayu-kayu mulai meluncur deras. Saya berusaha meneriaki warga agar segera menyelamatkan diri," ujar Fendi.

Fendi sendiri berlari ke tempat yang lebih tinggi. Dari sana ia menyaksikan perkampungan yang awalnya penuh dengan ketenangan, hamparan sawah hijau, petani yang menjemur kayu kulit manis di pinggir jalan serta tawa kecil anak-anak, seketika berubah menjadi lautan lumpur dan tumpukan kayu.

Suara-suara teriakan ia dengar begitu jelas. Batinnya rusak, hatinya hancur. Tapi tidak dengan keberaniannya. Dengan berbekal keberanian dan hati nurani yang masih tersisa di dalam dirinya, ia membantu penyelamatan warga satu persatu. Bahkan, tanpa sadar, lelaki yang usianya sudah kepala lima itu bisa menggendong dua ibu-ibu sekaligus pada saat banjir masih menerjang.

"Terus terang saja, saya sampai tidak percaya sore itu saya sanggup menggendong dua perempuan yang bobot badannya jauh lebih besar dari saya. Mungkin ini kuasa Tuhan," kata Fendi mengenang.

Fendi tahu betul, dalam situasi krisis, sesuatu yang mustahil terkadang bisa terbantahkan tanpa disadari. Apalagi, dia punya pengalaman lolos dari maut ketika terjadi likuefaksi di Palu pada 28 September 2018.

Kala itu, lelaki Minangkabau tersebut sedang mengadu nasib di Palu. Namun, peruntungannya tak selalu baik. Di sana, ia harus berjuang antara hidup dan mati agar lepas dari ancaman likuefaksi.

Beberapa tahun kemudian, Fendi kembali merasakan pahitnya bencana alam yang meratakan tanah leluhurnya. Dengan terbata-bata, Fendi bercerita bagaimana ia tak bisa menyelamatkan sejumlah warga yang meminta bantuannya. Bukan dia tak mau, kondisi lumpur dengan ketinggian hingga tiga meter membuat niat baiknya untuk menyelamatkan korban tidak dapat dilakukan.

Dalam ingatan Fendi, setidaknya ada empat hingga lima orang, termasuk mertua perempuannya, ia selamatkan dari ancaman maut. Semua ia bawa ke sebuah pondok kecil. Setelah itu, barulah Fendi berlari meminta bantuan ke daerah Tandikek, desa terdekat dari lokasi bencana.

"Saya minta tolong ke warga di sana untuk menghubungi TNI, Polisi, dan BNPB untuk membantu warga," kata dia.

Sekitar pukul 22.00 WIB, Fendi mengatakan anggota Brimob Polda Sumbar tiba di lokasi bencana. Namun, pada saat itu hujan masih mengguyur langit Malalak Timur. Kondisi pun gelap gulita karena aliran listrik padam.

Esok paginya, Kamis (27/11), tim SAR gabungan yang terdiri atas Basarnas Padang, Brimob Polda Sumbar, BPBD, PMI, relawan dan masyarakat mulai menyisir area perkampungan untuk mencari korban banjir bandang.

Satu persatu korban yang sudah meninggal dunia mulai ditemukan. Tangis dan air mata tak henti mengalir dari mereka yang selamat dari maut. Setiap kantong mayat berwarna oranye dibuka satu demi satu untuk memastikan identitasnya.

Untuk menemukan dan mengevakuasi korban, Tim SAR gabungan dihadapkan dengan tantangan yang begitu sulit. Tumpukan material berupa lumpur, kayu-kayu, batuan besar hingga material rumah yang ambruk menjadi kendala utama. Selain itu, di saat bersamaan pencarian juga diselimuti rasa kekhawatiran munculnya banjir bandang dan tanah longsor susulan.

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Republika Online (@republikaonline)

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement