REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Di tengah hangatnya udara Bojonggede yang selalu membawa aroma khas tanah basah, sekelompok warga sibuk mengaduk sesuatu di dalam baskom besar.
Namun, ini bukan acara masak-masak yang biasa terlihat saat ibu-ibu komplek kumpul. Yang mereka aduk adalah minyak jelantah, bekas goreng seminggu penuh yang sebentar lagi akan disulap jadi sabun padat nan wangi.
Begitulah suasana kegiatan Program Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) yang digelar oleh tim dosen Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) yang terdiri dari Indah Purwandani, Ety Nurhayaty, dan Lila Dini Utami pada Sabtu (8/11/2025).
Program ini didanai Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi untuk tahun pendanaan 2025. Temanya menggigit, yaitu “Inovasi Pengelolaan Limbah Rumah Tangga Menuju Lingkungan Berkelanjutan”.
Tujuannya sederhana tapi penting, yaitu membantu warga Bojonggede, Bogor agar bisa mengelola limbah rumah tangga menjadi produk yang ramah lingkungan sekaligus bernilai ekonomis. Karena, di zaman di mana orang bisa viral hanya karena resep gorengan, kenapa minyak bekasnya nggak bisa jadi peluang ekonomi juga?
Dalam sesi pelatihan, warga belajar membuat sabun dari minyak jelantah dan sabun cair berbahan ecoenzym. Hasil fermentasi bahan organik itu diolah jadi sabun cair alami yang ramah lingkungan, lembut di tangan, dan harum seperti ide-ide cemerlang yang lahir dari kepedulian.
“Kami ingin masyarakat tidak lagi memandang limbah sebagai sesuatu yang tidak berguna, tetapi sebagai sumber daya yang bisa diolah menjadi produk bermanfaat dan bernilai ekonomi,” ujar Indah Purwandani, Ketua Pelaksana kegiatan, sambil tersenyum di sela-sela pelatihan.
Tak hanya soal sabun, warga juga diajak berkenalan dengan “Black Soldier Fly” alias maggot, si pahlawan kecil yang bisa membantu mengurai sampah organik. Larva kecil itu ternyata bisa jadi bagian penting dari ekonomi sirkular: mengurai limbah sekaligus jadi pakan ternak bernilai jual tinggi.
Suasana pelatihan berubah seperti laboratorium gotong royong. Ada yang sibuk menuang sabun ke cetakan, ada yang mendengar penjelasan soal pengemasan produk, dan ada pula yang sibuk memotret hasil karya mereka untuk diunggah ke media sosial. Karena ya, inovasi memang harus dipublikasikan.
Kegiatan ini mendapat sambutan luar biasa dari warga. Mereka bukan hanya belajar membuat sabun atau budi daya maggot, tapi juga belajar satu hal yang lebih penting bahwa menjaga bumi bisa dimulai dari dapur sendiri.
Melalui kegiatan ini, UBSI sebagai Kampus Digital Kreatif menunjukkan bahwa pengabdian masyarakat bukan hanya seremonial kampus, tapi wujud nyata kepedulian terhadap lingkungan dan ekonomi warga.
Dari minyak jelantah yang biasanya dibuang, kini muncul harapan baru sabun yang membersihkan tangan sekaligus menyucikan cara pandang kita terhadap limbah. Kadang, perubahan besar memang dimulai dari hal sederhana, dari sisa minyak di wajan yang disulap jadi sumber penghidupan.