REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus ledakan yang terjadi SMAN 72 Jakarta memunculkan isu adanya praktik bullying atau perundungan di sekolah-sekolah. Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Atip Latipulhayat pun mengaku tak menutup mata soal kemungkinan adanya sekolah yang menutup-nutupi kasus perundungan yang dialami siswa.
"Kita tidak wajar berpikir spekulatif tetapi juga kita tidak menutup mata kemungkinan-kemungkinan adanya sekolah yang bersifat tertutup bahkan menutup diri dari kejadian perundungan yang menimpa peserta didik," kata Atip kepada Republika, Kamis (13/11/2025).
Atip menegaskan tindakan menutup-nutupi itu justru akan merugikan pihak sekolah dan peserta didik dalam mengatasi kasus perundungan. Sebab akar persoalannya tidak terungkap dan teruai.
"Padahal untuk menangani kasus perundungan perlu dukungan dan kerjasama semua pihak termasuk pihak sekolah," ujar Atip.
Atip juga mencurigai aksi menutupi kasus perundungan inilah yang justru menyebabkan penangannya tidak maksimal. Apalagi kalau guru Bimbingan dan Konseling (BK) dihambat kerjanya oleh pihak sekolah saat mengatasi perundungan.
"Boleh jadi. Kendala guru BK terkadang datang dari pihak sekolah dengan motif tertentu. Tampaknya agak ironis, kasus bully yang menimpa peserta didik di sekolah tetapi pihak sekolahnya tidak bersifat terbuka," ujar Atip.
Oleh karena itu, Atip menekankan perlu keterlibatan semua pihak untuk menangani kasus perundungan. Atip meyakini perlu adanya kesadaran kolektif, termasuk dari pihak sekolah.
"Karena itu, kami menghimbau agar pihak sekolah tidak perlu menutup diri, kasus perundungan patut duduk Bersama agar penyelesaiannya komprehensif demi kebaikan bersama," ujar Atip.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga mengakui adanya fenomena sekolah yang menutupi kasus perundungan demi menjaga nama baik. Tetapi, FSGI merahasiakan sekolah mana saja yang melakukan hal semacam itu.
"Ada, tetapi dasarnya bisa jadi bermacam-macam ya. Secara umum mungkin memang untuk menjaga nama baik sekolah," kata Sekjen FSGI Fahriza Marta Tanjung kepada Republika, Jumat (14/11/2025).
Fahriza mengamati pihak sekolah biasanya punya patokan tersendiri mengenai sejauh mana kasus perundungan dapat ditutupi. Kalau skalanya sudah begitu besar menurutnya sekolah akan sulit menutupnya.
"Biasanya sekolah punya semacam prosedur tertentu, sampai di titik mana kejadian bullying akan dipublish. Misalnya ketika persoalannya tidak bisa diselesaikan lagi oleh warga sekolah maka akan dipublish," ujar Fahriza.
Fahriza juga menduga opsi merahasiakan kasus perundungan demi memperhatikan masa depan anak. Pihak sekolah, lanjut Fahriza, tak ingin anak menderita beban psikologis yang begitu berat.
"Upaya menutupi kejadian bullying juga biasa dilakukan agar anak-anak yang bermasalah tidak semakin tertekan," ujar Fahriza.
Guna mencegah kasus perundungan, Fahriza menganjurkan sekolah dan Dinas Pendidikan punya prosedur standar dalam menangani kasus semacam itu sekaligus membentuk tim penanganannya.
"Dan paling penting bagaimana bisa mendeteksi sejak dini kejadian-kejadian bullying di sekolah sebelum menjadi kejadian yang lebih besar lagi," ujar Fahriza.
Fahriza mengingatkan sudah ada Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan sebagai acuan terhadap kasus perundungan. Aturan ini bertujuan menangani kasus kekerasan dengan berkoordinasi dengan pelapor, korban, saksi, terlapor, dan orang tua/wali.
"Mereka juga berkoordinasi dengan pihak lain seperti psikolog, tenaga medis, atau pekerja sosial untuk pemulihan korban," ujar Fahriza.
View this post on Instagram