REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan secara rinci duduk perkara polemik status empat pulau yang menjadi sengketa batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara. Polemik tersebut kini dinyatakan tuntas setelah Presiden Prabowo Subianto bersama Mendagri, Gubernur Aceh, dan Gubernur Sumatera Utara menyepakati pengembalian empat pulau itu ke dalam wilayah administrasi Aceh.
"Ahamdulillah tadi Bapak Presiden juga sudah memberikan arahan melalui Zoom meeting beliau dan kemudian disaksikan oleh Bapak Presiden, Bapak Gubernur Aceh, dan Bapak Gubernur Sumatera Utara juga sudah menandatangani kesepakatan tersebut," kata Tito, Selasa (17/6/2025).
Tito memaparkan polemik bermula dari penerbitan Keputusan Mendagri terkait kode wilayah dan administrasi pulau-pulau di Indonesia. Kepmendagri tersebut merupakan pembaruan data wilayah nasional, termasuk 17.380 pulau, untuk kepentingan tata kelola administrasi, APBD, hingga pengakuan internasional lewat United Nations Conference on the Standardization of Geographic Names (UNCSGN).
“Masalah pemutakhiran kode ini sangat penting di samping administrasi wilayah dan untuk eksternal. Supaya dengan sudah kita sampaikan dan daftarkan otomatis kita sudah melakukan klaim kepada dunia. Sehingga kalau ada pihak-pihak negara lain yang melakukan klaim, kita sudah mendaftarkan duluan," katanya.
Empat pulau yang dipersoalkan—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar (Mangkirgadang), dan Pulau Mangkir Kecil (Mangkirketek)—sempat dikategorikan masuk ke wilayah Sumatera Utara. Hal ini, kata Tito, didasarkan pada hasil rapat lintas instansi sejak 2008 hingga 2017, serta data koordinat yang kala itu tidak mencantumkan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari Aceh.
"Di tahun 2008 dan di tahun 2009, itu gubernur Aceh, itu tidak memasukkan empat pulau yang ada, sekarang kita permasalahkan, itu tidak masuk dalam cakupan provinsi Aceh, tapi adanya, adanya di gugusan pulau banyak, yang lebih kurang 70 km," kata Tito.
"Di tahun 2017 pemerintah daerah Aceh, mengirimkan surat keberatan dan memasuk untuk empat pulau ini, tapi tanpa koordinat," katanya menambahkan.
Namun, pada 2022, Pemerintah Aceh mengajukan keberatan dengan melampirkan dokumen kesepakatan batas wilayah tahun 1992 antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut, disaksikan Mendagri saat itu. Awalnya hanya salinan fotokopi yang ditemukan.
Mendagri Tito pun memerintahkan pencarian dokumen asli. Upaya itu membuahkan hasil ketika arsip di Kemendagri, Pondok Kelapa, Jakarta Timur, menemukan dokumen asli Keputusan Mendagri Nomor 111 Tahun 1992.
“Dokumen ini bagi kita critical, penting ini merupakan kesepakatan dua gubernur yang disaksikan pemerintah pusat yang diwakili oleh menteri dalam negeri, ” tambahnya.
Berdasarkan temuan data dan dokumen itu, Mendagri menyarankan dilakukan kesepakatan ulang antara Gubernur Aceh dan Sumut, yang telah dilakukan dan menjadi dasar revisi Kepmendagri untuk memasukkan empat pulau ke Aceh Singkil. Selanjutnya, revisi gazetteer oleh BIG dan pemberitahuan ke UNCSGN akan dilakukan untuk memastikan status hukum wilayah tersebut kuat di dalam dan luar negeri.
“Dengan demikian menjadi posisi yang sudah legal dan kuat bahwa empat pulau ini secara hukum dengan dokumen-dokumen yang ada ditambah dengan juga, memang ada tambahan-tambahan historis, ada keberadaan jejak-jejak dari warga Aceh Singkil dan lain-lain di sana, itu menjadi petunjuk dan pendukung,” katanya mengakhiri.