REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengendus hidupnya lagi dwifungsi tentara dalam revisi Undang-undang tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). RUU TNI disepakati untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR pada 20 Maret 2025 untuk disahkan, mulai dari proses formil hingga substansi.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyebut perluasan jabatan sipil bagi prajurit aktif dalam perubahan Pasal 47 ayat (2) RUU TNI berisiko menghidupkan kembali praktik “dwifungsi TNI”. Hal ini bertentangan dengan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) dan prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi.
"TAP MPR tersebut menegaskan TNI sebagai bagian dari rakyat, lahir dan berjuang bersama rakyat demi membela kepentingan negara, yang berperan sebagai komponen utama dalam sistem pertahanan Negara," kata Atnike pada Rabu (19/3/2025).
Namun, dalam perkembangan pembahasan RUU TNI saat ini, Komnas HAM mencatat adanya perubahan yang memungkinkan prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada 16 kementerian atau lembaga sipil. Bahkan aturan yang ada bisa saja diterabas oleh Presiden Prabowo.
"Selain itu, adanya pengatur bahwa Presiden ke depan bisa saja membuka ruang penempatan prajurit TNI aktif di sejumlah kementerian lainnya," ujar Atnike.
Pada 2024, Komnas HAM telah melakukan kajian terkait rancangan revisi UU TNI (RUU TNI) dan menyoroti isu-isu fundamental yang berisiko berdampak pada HAM, supremasi sipil, serta prinsip demokrasi. Komnas HAM memberikan rekomendasi strategis guna memastikan reformasi sektor pertahanan berjalan sesuai dengan prinsip HAM dan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Dalam kajian itu, Komnas HAM sudah memberikan catatan terhadap proses penyusunan RUU yang tidak diawali dengan evaluasi komprehensif terhadap implementasi UU TNI. Atnike menilai absennya evaluasi menyeluruh atas implementasi UU TNI yang berlaku saat ini menghambat identifikasi kebutuhan perubahan mendesak dan relevan.
"RUU ini disusun dengan keterbatasan ruang partisipasi masyarakat sipil dan kurangnya transparansi, yang bertentangan dengan prinsip pembentukan perundang-undangan yang demokratis dan berbasis HAM," ujar Atnike.
Kajian Komnas HAM menegaskan revisi UU TNI harus didasarkan pada prinsip HAM, supremasi sipil, dan tata kelola yang demokratis.
"Tanpa evaluasi menyeluruh dan keterlibatan publik yang bermakna, perubahan ini berisiko mengembalikan praktik yang bertentangan dengan asas pemerintahan yang berdasarkan demokrasi dan rule of law," ujar Atnike.
Oleh karena itu, Komnas HAM berpesan tak ingin kembalinya Dwifungsi TNI lewat revisi UU TNI. "Revisi UU TNI harus memperkuat peran TNI yang profesional dalam sektor keamanan, serta memperkuat supremasi sipil," ucap Atnike.
Diketahui, Komisi I DPR RI sudah satu suara membawa revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI) supaya disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna DPR RI. Semua fraksi terdiri dari PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, NasDem, Demokrat, PKS dan PAN tak ada yang menolak RUU TNI.
Kesepakatan Komisi I DPR RI disampaikan dalam rapat kerja bersama Pemerintah dengan agenda pembicaraan tingkat I pengambilan keputusan terhadap RUU TNI di ruang rapat Banggar DPR RI pada Selasa (18/3/2025).
