Sabtu 22 Nov 2025 10:02 WIB

Komnas HAM Ungkap Lima Potensi Pelanggaran HAM Akibat Pengesahan KUHAP Baru

Di sisi lain, Menteri HAM menilai 80 persen isi KUHAP sudah sesuai dengan nilai HAM.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Anis Hidayah memberikan sambutan dalam Puncak peringatan Hari Pekerja Migran Internasional (HPMI) 2022 Kawasan Thamrin 10, Jakarta, Ahad (18/12/2022). Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mengelar peringatan HPMI 2022 dengan tema Stop Human Trafficking: Pekerja Migran Bermartabat, Negara Berdaulat,digelorakan sebagai peringatan bahaya tentang perdagangan orang, sekaligus ajakan perang melawan sindikat penempatan illegal PMI. Republika/Prayogi.
Foto: Republika/Prayogi
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Anis Hidayah memberikan sambutan dalam Puncak peringatan Hari Pekerja Migran Internasional (HPMI) 2022 Kawasan Thamrin 10, Jakarta, Ahad (18/12/2022). Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mengelar peringatan HPMI 2022 dengan tema Stop Human Trafficking: Pekerja Migran Bermartabat, Negara Berdaulat,digelorakan sebagai peringatan bahaya tentang perdagangan orang, sekaligus ajakan perang melawan sindikat penempatan illegal PMI. Republika/Prayogi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menuntaskan analisis terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru. Dari hasil analisis itu, Komnas HAM mengungkapkan lima potensi pelanggaran HAM akibat pengesahanan KUHAP baru. 

Pertama, Komnas HAM menyoroti ketentuan mengenai penyelidikan dan penyidikan, termasuk kewenangan penggunaan upaya paksa. Komnas HAM menekankan upaya itu harus diikuti peningkatan kualitas dan mekanisme pengawasan yang ketat, baik internal maupun eksternal.

 

"Ini untuk mengurangi penyalahgunaan wewenang dan potensi pelanggaran HAM, khususnya terhadap saksi, tersangka dan/atau korban," kata Ketua Komnas HAM Anis Hidayah dalam keterangannya pada Sabtu (22/11/2025).

 

Kedua, Komnas HAM mengamati penggunaan kewenangan upaya paksa (penangkapan, penahanan, penetapan 

tersangka, penggeledahan, pemeriksaan dan penyadapan) harus digunakan secara 

ketat. Komnas HAM menekankan pentingnya indikator-indikator jelas dan terukur.

 

"Serta dibuka peluang kepada pihak yang merasa dirugikan hak-haknya untuk mengajukan keberatan, baik terhadap institusi yang menggunakan upaya paksa tersebut maupun melalui lembaga peradilan," ujar Anis. 

 

Ketiga, Komnas HAM mengkritisi praperadilan hanya memeriksa aspek formil atau administrasi, bukan aspek materiil. Padahal aspek materiil lah yang paling banyak disorot dalam penegakan hukum. Menurut Komnas HAM, mekanisme praperadilan yang diatur dalam KUHAP belum mencerminkan keresahan publik dan belum mampu secara efektif mengatasi  kelemahan penegakan hukum. 

 

"Misalnya ketika terjadi intimidasi, kekerasan, dan penyiksaan dalam pemeriksaan dan upaya paksa, tidak menjadi pertimbangan hakim praperadilan. Mekanisme praperadilan tidak mampu untuk mengontrol kualitas 

penegakan hukum," ujar Anis. 

 

Keempat, Komnas HAM menemukan perubahan alat bukti dalam KUHAP. Yaitu Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, 

Keterangan Terdakwa, Barang Bukti, Bukti Elektronik, Segala Sesuatu Yang Diperoleh 

secara Legal. Akan tetapi Komnas HAM meyakini frasa ”segala sesuatu” bermakna luas dan multitafsir. 

 

"Berisiko menimbulkan penyalahgunaan bukti ilegal, misalnya hasil penyadapan tidak sah. Perlu penegasan sanksi untuk bukti dari penyiksaan atau penyadapan ilegal," ujar Anis. 

 

Komnas HAM juga memandang KUHAP perlu membuka kemungkinan pembentukan mekanisme pengujian admisibilitas terhadap alat-alat bukti tersebut.

 

"Ini guna memastikan bahwa alat-alat bukti tersebut diperoleh dengan cara-cara yang layak, patut dan tidak melanggar norma hukum dan kesusilaan," ujar Anis. 

 

Kelima, Komnas HAM menyinggung KUHAP baru tidak mencantumkan ketentuan tegas terkait konsep koneksitas untuk menjembatani perkara pidana yang melibatkan anggota militer dan sipil secara bersama-sama. Koneksitas untuk mengatur yurisdiksi (peradilan umum vs. peradilan 

militer) hanya berdasarkan “titik berat kerugian”. 

 

"Makna dari 'titik berat kerugian' untuk menentukan suatu perkara apakah akan diadili oleh peradilan umum atau peradilan 

militer, serta perlu adanya transparansi lebih besar dalam penanganan perkara sipil-militer," ujar Anis. 

 

Lima ketentuan KUHAP itulah yang menjadi temuan kajian Komnas HAM yang 

berpotensi melanggar HAM. Kajian atas RKUHAP tahun 2023 dan 2025 sesuai kewenangan Komnas HAM dalam pengkajian dan penelitian sebagaimana diatur dalam Pasal 89 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. 

 

"KUHAP sebagai beleid dalam implementasi penegakan hukum pidana, berfungsi krusial dalam mencegah dan memitigasi pelanggaran serta melindungi HAM dalam proses penegakan hukum pidana, mulai tahap penyelidikan hingga putusan peradilan dan penempatan terpidana di lembaga pemasyarakatan," ujar Anis. 

 

Di sisi lain, Menteri HAM Natalius Pigai meyakini 80 persen dari isi revisi KUHAP sudah sesuai dengan nilai HAM. Pigai mendorong siapapun yang keberatan atas isi KUHAP untuk berdiskusi dengannya. 

 

Hal itu dikatakannya usai menghadiri Kick Off Satu Data HAM yang diadakan Pusat Data dan Informasi HAM Kementerian HAM pada Jumat (21/11/2025). Kick-off Satu Data HAM menjadi tonggak dimulainya integrasi dan interoperabilitas data HAM antar sektor. 

 

"Boleh saya jujur ya Undang-undang KUHAP itu proses penegakan hukum baik itu criminal justice system, human right justice system, terutama criminal justice system, proses penegakan hukum dalam peradilan kriminal di Indonesia itu unsur hak asasi manusia 80 persen," kata Pigai dalam kegiatan itu. 

 

Pigai mengajak pihak-pihak yang masih keberatan dengan KUHAP baru untuk berdiskusi. Pigai siap menyerap masukan dari berbagai pihak. Salah satunya Lokataru yang disebut Pigai sudah berdiskusi dengannya. 

 

"Oleh karena itulah kalau ada yang merasa hak asasinya tidak diwadahi ya Kementerian HAM terbuka pintu untuk menyampaikan kepada pihak yang berkewajiban untuk melakukan koreksi," ujar Pigai. 

 

Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dalam rapat paripurna pada 18 November 2025. Pengesahan tersebut dilakukan setelah pemerintah dan Komisi III DPR pada 13 November 2025 menyepakati membawa RKUHAP dalam rapat paripurna DPR. Pengesahan RKUHAP tersebut atas dasar adanya perkembangan dan dinamika zaman, serta pemberlakuan UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan berlaku pada 2 Januari 2026. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement