REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengamati adanya keanehan dalam Revisi Undang-Undang tentang Perubahan Atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). PSHK menduga RUU TNI sebagai regulasi susupan.
Deputi Direktur Eksekutif PSHK, Fajri Nursyamsi mengungkap mulanya RUU TNI tak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2025. Lalu Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie bersurat kepada Ketua Komisi I DPR pada 7 Februari 2025 guna membahas RUU TNI. Alhasil, RUU TNI dimasukan ke daftar Prolegnas Prioritas 2025.
"Permohonan awal masuk di situ. Dalam surat itu juga dilampirkan draf dan naskah akademik," kata Fajri saat dikonfirmasi Republika pada Senin (17/3/2025).
Fajri mencurigai RUU TNI disusupkan dalam agenda rapat paripurna DPR pada 18 Februari 2025 guna disepakati masuk prolegnas prioritas 2025. "Mengacu Tata Tertib DPR, harusnya perubahan agenda rapat paripurna DPR dilakukan maksimal 2 hari sebelum rapat paripurna dilaksanakan," ujar Fajri.
Kemudian, Fajri heran mengenai Surat Presiden (Surpres) pada Februari 2025 menjadi pertimbangan DPR mencantumkan RUU TNI dalam prolegnas prioritas 2025. Padahal menurutnya, pertimbangan DPR harusnya usulan Badan Legislasi (Baleg) DPR.
"Surpres itu bukan permohonan awal, tapi sudah menunjuk perwakilan pemerintah untuk melakukan pembahasan," ujar Fajri.
Fajri menjelaskan Surpres yang menunjuk wakil pemerintah tersebut terbit seusai memperoleh surat dari DPR mengenai RUU TNI yang siap dibahas. DPR dan Presiden seperti sudah senada supaya RUU TNI disahkan. Lalu pada 18 Februari 2025 Surpres menjadi rujukan RUU TNI masuk prolegnas dan penugasan bagi Komisi I agar membahasnya.
“Dari kronologi legislasi itu terlihat prosesnya ugal-ugalan dan dipaksakan seolah pembahasan (RUU TNI) telah melewati prosedur yang benar, padahal ada proses yang tercederai,” ujar Fajri.