REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyerukan institusi militer harus ditempatkan sesuai mandat konstitusionalnya, yakni sebagai alat pertahanan negara. Terlalu jauhnya TNI masuk ke wilayah sipil bertentangan dengan semangat reformasi.
Dalam siaran pers yang disampaikan juru bicara Koalisi, Ardi Manto Adiputra (Direktur Imparsial) dan Bhatara Ibnu Reza (DeJure), disebutkan, hingga hari ini, berbagai praktik multifungsi TNI masih berlangsung, dan terus meluas ke ranah sipil. Mulai dari penempatan prajurit aktif TNI di lembaga sipil, keterlibatan dalam urusan keamanan dalam negeri, hingga mengurus sektor-sektor non-pertahanan.
Praktik tersebut, menurut Koalisi, bertentangan dengan semangat reformasi dan agenda demokratisasi di Indonesia. Multifungsi TNI tidak hanya merusak tata kelola pemerintahan sipil, tetapi juga bersifat destruktif bagi profesionalisme TNI itu sendiri. Selain itu, multifungsi TNI membuka ruang penyalahgunaan kewenangan yang berkaitan langsung dengan tindakan represif terhadap masyarakat.
Ditambahkan Koalisi, pada 5 Oktober 2025, TNI genap berusia 80 tahun. Sejak kelahirannya, TNI telah menjadi salah satu institusi penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Namun, peringatan ulang tahun ke-80 ini semestinya tidak semata dipandang sebagai pesta seremonial, melainkan momentum untuk melakukan refleksi kritis terhadap arah TNI pascareformasi.
Lebih dari dua dekade sejak Reformasi 1998, publik berharap TNI bertransformasi menjadi kekuatan pertahanan yang profesional, tunduk pada supremasi sipil, dan terbebas dari praktik kekerasan terhadap warga sipil.
Namun Koalisi memandang, kasus-kasus kekerasan dan tindak pidana yang melibatkan oknum TNI terus berulang, Dalam catatan Koalisi sejak Januari 2025 hingga September 2025, berulang kali prajurit TNI terlibat dalam tindak pidana umum yang meresahkan dan menciderai rasa aman masyarakat.
Koalisi juga menyoroti pembentukan enam Kodam baru, antara lain: Kodam XIX/Tuanku Tambusai, Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol, Kodam XXI/Radin Inten, Kodam XXII/Tambun Bungai, Kodam XXIII/Palaka Wira, dan Kodam XXIV/Mandala Trikora. Koalisi menyebut pembentukan kodam baru ini memperlihatkan adanya niat memperkuat Komando Teritorial yang sejatinya merupakan warisan Orde Baru.
Padahal, amanat Reformasi 1998 justru menghendaki restrukturisasi dan pengurangan Komando Teritorial karena keberadaannya lebih berfungsi sebagai alat kontrol politik ketimbang pertahanan. Restrukturisasi ini juga telah diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun 2025 tentang TNI, yang mengamanatkan penggelaran kekuatan TNI tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan.
Restrukturisasi Koter bertujuan agar gelar kekuatan TNI (Postur TNI) mendukung peran TNI sebagai alat pertahanan negara. Penambahan Kodam hanya akan memboroskan anggaran, memperlemah akuntabilitas sipil, dan membuka ruang bagi militer untuk kembali masuk dalam kehidupan sosial-politik masyarakat.
Koalisi memandang ancaman terhadap demokrasi dan negara hukum juga datang dari RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS). Hal ini terlihat dari diakomodasinya TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) huruf d.
Rumusan ini, menurut Koalisi, bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara, tidak memiliki tugas dan fungsi sebagai penegak hukum. Keterlibatan militer dalam penyidikan pidana siber menciderai prinsip supremasi sipil dalam negara demokratis.
Perumusan pasal di atas menjadi indikasi semakin menguatnya upaya militerisasi ruang siber, yang langkah-langkah sistematisnya terlihat semenjak revisi UU TNI, dengan penambahan tugas operasi militer selain perang, yang berkaitan dengan penanganan ancaman pertahanan siber.
Penambahan tugas ini menjadi problematis dengan ketidakjelasan gradasi ancaman. Kondisi ini memberi ruang bagi militer untuk terlibat dalam semua tingkatan penanganan ancaman keamanan siber, tidak terbatas pada aspek perang siber. Padahal, pertahanan siber (cyber defense) semestinya menekankan tindakan defensif, baik active maupun passive cyber defense, untuk melindungi aset pertahanan negara, bukan mengintervensi ranah sipil.