REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Imparsial memberikan rapor merah dalam penilaian setahun kinerja pemerintah Prabowo-Gibran dalam bidang pertahanan. Menurut Imparsial, kebijakan menteri pertahanan cenderung tidak fokus membangun pertahanan, tapi lebih mengurusi masalah sosial politik.
Dalam keterangan pers catatan penting di bidang pertahanan setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad, meminta Presiden Prabowo dan parlemen untuk mengevaluasi secara serius Menteri Pertahanan. “Beberapa kebijakan sektor pertahanan tidak sejalan dengan prinsip demokrasi dan HAM,” kata Hussein, dalam siaran pers, Ahad (19/10/2025).
Kebijakan itu contohnya mengembalikan dwi fungsi TNi melalui revisi UU TNI, pembentukan komando teritorial dan batalyon pangan, pembentukan dewan pertahanan nasional dengan kewenangan yang berlebihan dan multitafsir dan lainnya.
Menurut Imparsial, satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran justru mempertegas rekonsolidasi militerisme di Indonesia. Alih-alih memperkuat agenda reformasi sektor keamanan yang telah diperjuangkan sejak dua dekade terakhir, pemerintah bersama DPR justru mengambil langkah-langkah yang mendorong dominasi peran militer di ranah sipil, baik secara legal-normatif maupun faktual-implementatif.
Kecenderungan ini mengancam prinsip dasar supremasi sipil, melemahkan mekanisme akuntabilitas demokratis, serta membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan yang dapat mengarah pada bentuk pemerintahan yang semakin autokratis. Gejala ini terlihat dari fenomena militerisasi ruang sipil )sekuritisasi).
Hal ini terlihat dari fenomena perluasan pelibatan TNI dalam ranah sipil atas nama operasi militer selain perang (OMSP). Salah satu contoh menonjol adalah keterlibatan TNI dalam proyek strategis nasional (PSN) Food Estate di Merauke.
Contoh lainnya adalah pelibatan TNI dalam tugas-tugas yang tidak termasuk dalam OMSP sebagaimana diatur dalam UU TNI. Keterlibatan militer dalam program sosial seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan bergesernya peran TNI dari fungsi utama pertahanan ke ranah sipil. Padahal, tugas-tugas semacam itu seharusnya dijalankan oleh institusi sipil.
Imparsial juga melihat Pembentukan Dewan Pertahanan Nasional (DPN) memang diamanatkan oleh UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Namun kewenangan lembaga ini meluas secara berlebihan melalui Perpres No. 202 Tahun 2024. Pasal 3 huruf f peraturan tersebut menyebutkan bahwa DPN memiliki “fungsi lain yang diberikan oleh Presiden,”.
Ini dinilai Imparsial bersifat multitafsir dan membuka peluang penyalahgunaan wewenang. Dengan klausul ini, DPN berpotensi menjadi lembaga superbody yang melampaui batas kewenangannya.
Pembentukan DPN ini, kata Hussein, merupakan langkah yang berpotensi mengancam prinsip akuntabilitas dan kontrol demokratis di sektor pertahanan itu sendiri. Lebih jauh, komposisi keanggotaan DPN yang didominasi unsur militer dan elit eksekutif menunjukkan absennya prinsip check and balance yang semestinya dijaga dalam sistem pertahanan demokratis.
Sementara peneliti Imparsial, Riyadh Putuhena, menilai pengesahan UU No. 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (revisi UU TNI) sangat bermasalah. Baik dari sisi prosedur maupun substansi.
“Proses revisi dilakukan secara tertutup dan minim partisipasi publik, termasuk dari masyarakat sipil dan akademisi. Hingga pengesahan, tidak ada publikasi resmi mengenai naskah final yang disetujui DPR dan Pemerintah,” ungkap Riyadh.
Selain revisi UU TNI, kata dia, penerbitan Perpres No. 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara terhadap Tugas dan Fungsi Jaksa (Perpres 66/2025), semakin menguatkan gejala bangkitnya militerisme.
“Militerisme perlahan-lahan mulai disusun kembali di atas puing-puing reruntuhannya pascareformasi 1998. Bukan dengan sembunyi-sembunyi seperti penandatanganan MoU antara TNI dan lembaga sipil, melainkan secara kasat mata lewat pelibatan TNI dalam pengawalan Tugas dan Fungsi Jaksa yang diatur dalam Perpres tersebut,” papar Riyadh.