Kamis 30 Oct 2025 07:39 WIB

RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, Imparsial: Militerisasi Ruang Siber

Sejumlah pasal di RUU KKS membuka ruang TNI bertindak sebagai penyidik pidana siber.

Koalisi Masyarakat Sipil bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Trisakti menyelenggarakan diskusi bertema: Problematikan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, di Universitas Trisakti, Rabu (29/10/2025).
Foto: istimewa/doc humas
Koalisi Masyarakat Sipil bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Trisakti menyelenggarakan diskusi bertema: Problematikan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, di Universitas Trisakti, Rabu (29/10/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —  Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, mengatakan,  Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) berbahaya bagi kebebasan sipil, serta hak privasi warga negara di ruang siber atau digital. 

Menurutnya, RUU KKS gagal memberikan batas yang tegas antara konsep keamanan siber (cyber security) yang seharusnya melindungi warga negara, dan pertahanan siber (cyber defence) yang merupakan domain militer.

Hal ini disampaikan Ardi dalam diskusi publik bertajuk “Problematikan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber”. Kegiatan ini diselenggarakan Koalisi Masyarakat Sipil bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Rabu (29/10//2025).

Dalam siaran pers disebutkan, Ardi menyoroti pasal-pasal dalam RUU KKS yang membuka ruang bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk bertindak sebagai penyidik dalam tindak pidana siber. Menurutnya, ketentuan ini sangat berbahaya karena TNI bukan aparat penegak hukum dan tidak memiliki mekanisme akuntabilitas publik, sebagaimana lembaga sipil seperti kepolisian atau kejaksaan.

Keterlibatan TNI dalam penegakan hukum siber berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan antar lembaga, mengaburkan prinsip supremasi sipil, dan mendorong militerisasi dalam urusan sipil. Dalam konteks negara hukum dan demokrasi, hal ini merupakan kemunduran serius karena membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia, terutama dalam pengawasan dan pengendalian aktivitas warga di ruang digital.

Sementara dosen Fakultas Hukum Trisakti, Bhatara Ibnu Reza, melihat RUU KKS merupakan pendekatan yang menekankan state-centric yang menafikan keamanan warga atau hak konstitusional warga negara. Menurutnya, keamanan negara dalam praktiknya seringkali dimaknai sebagsi keamanan rezim yang berkuasa sehingga aktor keamanan hanya melayani dan menjadi alat kekuasaan dari kepentingan rezim. 

Selain itu, menurutnya, RUU KKS juga merupakan ruang lingkup yang ambigu. Dalam RUU KKS ini ada kekaburan antara garis keamanan siber dengan pertahahan siber. Hal ini bisa berujung pada hilangnya keseimbangan antara keamanan dan kebebasan sipil di dunia siber. 

Menjadikan TNI sebagai penyifik di dunia siber, kata dia, merupakan ancaman serius terhadap demokrasi dan HAM. Dengan demikian RUU KKS ini bisa menjadi ancaman baru bagi kebebasan dan kehidupan demokrasi, serta memperluas kontrol negara terhadap kehidupan warga negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement