REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Aktivis Centra Initiative, Al Araf, mengatakan, politisasi rezim terhadap militer, yang membuka kembali penguatan militerisme di Indonesia. Kondisi ini akan berdampak besar dan bisa kembali ke era masa lalu.
Hal ini disampaikannya dalam diskusi publik yang diselenggarakan Koalisi Masyarakat Sipil, Jurnal Prisma, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Katholik Parahyangan, Selasa (4/11/2025). “Kita menginginkan agar militer sebagai kesatuan organisasi hidup dalam ruang yang benar dan tidak dipolitisasi oleh rezim,” kata Al Araf dalam siaran pers yang dikeluarkan usai kegiatan.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
TNI itu adalah alat pertahanan negara, karena penciptaan militer itu hanya untuk perang. Mereka dilatih untuk perang. Dalam demokrasi, kata Al Araf, tentara harus siap perang. “Bagaimana mungkin menyiapkan perang, di saat yang bersamaan tentara justru disuruh mengurus cetak sawah dan makan gratis. Idol capacity-nya akan tertinggal,” ungkapnya.
Menurutnya, jika militer persepsi ancaman outward looking, maka hubungan sipil dan militer akan baik dan demokratis. Tapi sebaliknya, kalau inwork looking, maka pasti hubungan sipil dan militer pasti buruk. “Menteri Pertahanan dari segi kebijakan juga semuanya mengarah pada inward looking. Akibatnya, penyelesaian persoalan yang terjadi seringkali digunakan dengan pendekatan militeristik,” kata Al Araf.
Sementara, Poltak Partogi, profesor riset untuk bidang politik, tata kelola, konflik, dan keamanan internasional di BRIN, mengatakan, hubungan sipil-militer merupakan salah satu parameter demokrasi. Hubungan sipil-militer yang tak tertata baik justru mengarah pada lemahnya kontrol terhadap militer. Ini tergambar dari kontrol demokrasi sipil, terutama lewat parlemen.
Mengenai cara militerisme kembali, menurut Poltak, bisa secara tidak langsung maupun cara langsung. Adapun cara yang tidak langsung dilakukan secara merangkak tapi tak melalui creeping coup, dukung penguasa autocrat, memanfaatkan autoritarian legalistik, ekspansi ke ranah sipil, dan sebagainya. Sementara Myanmar dan Thailand, kudeta itu dilakukan secara langsung.