REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sekretary General Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Gina Sabrina, menyebut pemerintah menutupi revisi besar dalam RUU TNI dengan menyebut hanya tiga pasal.
“Padahal setidaknya tujuh pasal direvisi, termasuk yang membuka ruang penempatan prajurit aktif di lembaga sipil dan operasi nonmiliter,” kata Gina, dalam siaran pers yang diterima Republika.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Hal ini disampaikan Gina dalam diskusi Arus Balik Reformasi TNI di Tengah Krisis Demokrasi, di Universitas Indonesia, Rabu (8/10/2025). Kegiatan ini diselenggarakan Front Mahasiswa Nasional, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, dan Jurnal Prisma.
Dikatakan Gina, pola represif masa lalu berpotensi berulang, terutama melalui mobilisasi ormas tertentu dan pembentukan komponen cadangan. Ini yang memungkinkan warga sipil diadili di peradilan militer jika menolak mobilisasi. Semua ini dilakukan atas nama stabilitas keamanan tetapi justru melemahkan prinsip konstitusional dan demokrasi.
Sementara Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Tangka, melihat revisi UU TNI tidak membawa reformasi, melainkan memperkuat campur tangan militer di ranah sipil. Termasuk mempertahankan budaya maskulinitas dan patriarki dalam tubuh TNI. Militerisme memperkuat kekuasaan otoriter, menyingkirkan perempuan dan kelompok rentan, serta menormalisasi kekerasan dalam kehidupan sosial.
Mike juga menyoroti rendahnya keterwakilan perempuan di TNI, yang hanya sekitar 2 persen, dan keterlibatan militer dalam proyek food estate. Menurutnya, dalam proyek food estate TNI lebih berpihak pada investor dan merugikan masyarakat lokal.
“Anggaran militer harus dikurangi dan dikembalikan pada pemenuhan hak dasar rakyat, serta agar TNI dikembalikan ke fungsi pertahanan murni di bawah otoritas sipil,” kata dia.