Jumat 12 Dec 2025 18:45 WIB

Koalisi Sipil Minta Dilakukan Reformasi Peradilan Militer

Kasus kekerasan yang melibatkan anggota TNI kerap berakhir tanpa penyelesaian adil.

 Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan saat melakukan audiensi dengan Komnas HAM, Jumat (12/12/2025).
Foto: istimewa/doc humas
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan saat melakukan audiensi dengan Komnas HAM, Jumat (12/12/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Aktivis Imparsial, ⁠Riyadh Putuhena,  meminta dilakukan reformasi Peradilan Militer untuk menghentikan praktik impunitas. Peradilan militer dinilai tidak dirancang untuk mengadili tindak pidana umum.

Hal ini disampaikan Riyadh terkait dengan audiensi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan melakukan audiensi dengan Komnas HAM, Jumat (12/12/2025).  Dijelaskannya, audiensi ini merupakan bagian dari upaya gerakan masyarakat sipil untuk mengecam tindak kekerasan TNI dan praktik impunitas yang terjadi pada peradilan militer. 

“Kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anggota TNI selama ini kerap berakhir tanpa penyelesaian yang adil akibat mekanisme peradilan militer yang tertutup, tidak independen, dan tidak memberikan ruang bagi korban untuk memperoleh keadilan,” kata Riyadh, dalam siaran persnya.

Kasus-kasus pelanggaran hukum yang melibatkan anggota TNI, kata dia, memperjelas kelemahan struktural sistem Peradilan Militer. Dalam kasus pembunuhan MHS misalnya, pelaku yang merupakan anggota TNI hanya dijatuhi hukuman kurungan sembilan bulan oleh Peradilan Militer. 

Menurut Riyard, putusan yang sangat ringan ini tidak hanya mencederai rasa keadilan keluarga korban, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistem Peradilan Militer memberi pertanggungjawaban yang setimpal. Proses persidangan yang tertutup dari pengawasan publik, menjadikan ketimpangan ini semakin sulit untuk dikoreksi.

Sementara itu, lanjut dia, kasus pembunuhan jurnalis Rico Pasaribu beserta keluarganya memperlihatkan problem impunitas yang jauh lebih mengkhawatirkan. Meski beberapa pelaku pernah diproses, namun dalang, aktor intelektual, dan jaringan yang bertanggung jawab belum pernah diseret ke pengadilan hingga hari ini. 

“Minimnya transparansi serta tidak adanya kemajuan signifikan menunjukkan bagaimana mekanisme hukum yang berlaku selama ini tidak mampu mengungkap kebenaran secara tuntas dan tidak menjamin keadilan bagi keluarga korban,” papar Riyard.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, menurut Riyard, menilai bahwa dua kasus tersebut bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, tetapi refleksi sistemik dari watak Peradilan Militer yang menutup diri dari kontrol publik, memberikan standar penghukuman yang lebih rendah, serta mengaburkan pertanggungjawaban pidana anggota TNI dalam tindak kriminal yang dilakukan. 

Hal ini semakin menegaskan bahwa Peradilan militer tidak dirancang untuk mengadili tindak pidana umum. Fungsi utamanya adalah menjaga disiplin internal, bukan menangani kejahatan terhadap warga sipil. Ketika pembunuhan, penyiksaan, atau kejahatan lainnya justru diadili secara tertutup di ranah militer, maka keadilan substantif tidak pernah benar-benar tercapai.

Praktik Peradilan Militer hingga detik ini, lanjut Riyard, masih menyisakan ruang hampa. Ini berlawanan dengan prinsip negara demokratis dan amanat Reformasi 1998. Agenda reformasi TNI secara eksplisit mengharuskan pemisahan yurisdiksi antara tindak pidana umum dan pelanggaran militer. Namun hingga kini, implementasi prinsip tersebut belum dijalankan secara penuh.

Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan secara tegas menyatakan, seluruh tindak pidana umum yang dilakukan anggota TNI, termasuk pembunuhan, penyiksaan, kekerasan seksual, penghilangan nyawa, maupun tindak kriminal lainnya, wajib diadili melalui peradilan umum, dan bukan melalui Peradilan Militer. 

“Kami mendesak pemerintah, DPR, dan TNI untuk segera mengambil langkah konkret dan terukur guna memastikan bahwa setiap prajurit yang melakukan tindak pidana umum diproses melalui peradilan umum, dengan transparansi penuh, dan akuntabilitas yang dapat diawasi publik,” papar Riyard.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement