Rabu 10 Sep 2025 22:24 WIB

Alissa Wahid Desak Presiden Segera Bentuk Tim Investigasi Independen Usut Kematian dalam Unjuk Rasa

Alissa mencatat, setidaknya terdapat 10 korban jiwa.

Rep: Kamran Dikarma / Red: Israr Itah
Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Qothrunnada Wahid, memberikan keterangan kepada media seusai mengunjungi kediaman almarhum Iko Juliant Junior pada Rabu (10/9/2025). Iko merupakan mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Semarang (Unnes) Angkatan 2024 yang penyebab kematiannya masih dipertanyakan sejumlah pihak, meski polisi telah menyatakan bahwa ia meninggal akibat kecelakaan.
Foto: REPUBLIKA/Kamran Dikarma
Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Qothrunnada Wahid, memberikan keterangan kepada media seusai mengunjungi kediaman almarhum Iko Juliant Junior pada Rabu (10/9/2025). Iko merupakan mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Semarang (Unnes) Angkatan 2024 yang penyebab kematiannya masih dipertanyakan sejumlah pihak, meski polisi telah menyatakan bahwa ia meninggal akibat kecelakaan.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Qothrunnada Wahid, menyerukan Presiden Prabowo Subianto segera membentuk tim investigasi independen untuk mengusut kasus kematian selama serangkaian unjuk rasa di berbagai daerah Tanah Air pada akhir Agustus 2025 lalu. Hal itu disampaikan Alissa seusai mengunjungi kediaman almarhum Iko Juliant Junior, mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang termasuk di antara para korban jiwa.

"Saya menuntut, saya mendesak Pak Presiden, untuk mengambil langkah membentuk tim investigasi independen, karena ini satu-satunya jalan untuk menyelesaikan prahara Agustus," kata Alissa saat diwawancara di Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (10/9/2025).

Baca Juga

Alissa mencatat sepanjang unjuk rasa pada akhir Agustus lalu, setidaknya terdapat 10 korban jiwa, termasuk salah satunya Iko Juliant Junior. Dia mengungkapkan, menurut catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), terdapat 5.800-an orang yang ditangkap. Dari jumlah tersebut, 580-an di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Lalu ada 1.100 lebih yang mengalami luka-luka. Menurutnya, ini masif.

Secara khusus, Alissa menyinggung tentang tiga korban luka di Yogyakarta. "Dari yang luka-luka, di Yogya ada tiga yang dimputasi. Jadi kekerasan ini harus kita hentikan," tegas Alissa.

Alissa mengatakan, tim investigasi independen termasuk di antara tuntutan "17+8" yang diajukan koalisi masyarakat sipil. "Investigasi ini tidak bisa hanya dilakukan oleh aktor negara. Kan lucu kalau pelaku kekerasan eksesifnya adalah polisi, kemudian tim investigasinya oleh negara, polisi juga," ujarnya.

Menurut Alissa, Indonesia mempunyai banyak ahli atau pakar yang dapat diangkat menjadi tim investigasi independen. Misalnya, Marzuki Darusman yang merupakan anggota Tim Pencari Fakta PBB untuk Myanmar.

Dia menambahkan, saat ini koalisi masyarakat sipil juga sedang mengumpulkan berbagai bukti dugaan tindak kekerasan yang dilakukan aparat selama penanganan unjuk rasa pada akhir Agustus lalu. Alissa juga sempat menceritakan kunjungannya ke kediaman almarhum Iko Juliant Junior.

"Saya dan para pemuka agama, teman-teman dari Gusdurian, berkunjung ke rumah keluarga Iko Juliant, karena Iko ini masuk di dalam sepuluh nama korban jiwa selama prahara Agustus. Jadi kami ingin memberikan penguatan," ucap Alissa.

Alissa mengetahui adanya pihak-pihak yang belum sepenuhnya mempercayai bahwa Iko meninggal akibat kecelakaan. Dia mendesak kepolisian agar transparan dalam penanganan kasus kematian Iko.

Dia menambahkan, keterbukaan terkait penanganan juga sebenarnya dibutuhkan kepolisian. "Karena kepolisian saat ini sedang membutuhkan kepercayaan masyarakat kembali pulih. Justru keuntungannya ada di polisi kalau ini dibuka," kata dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement