REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengungkapkan sejumlah indikasi mencurigakan dari majelis hakim kasasi kasus yang menyeret terdakwa Gregorius Ronald Tannur. Fickar merasa hakim kasasi ini perlu diusut lebih jauh.
"Karena itu terhadap hakim kasasi juga harus diperiksa dengan ketat," kata Fickar kepada Republika, Selasa (19/11/2024).
Hal ini disampaikan Fickar menanggapi Mahkamah Agung (MA) yang memutuskan tak ada pelanggaran etik terhadap tiga hakim agung yang menangani perkara kasasi Ronald Tannur. Dalam pemeriksaan ini, MA turut menggali keterangan dari tersangka makelar kasus sekaligus eks pejabat MA Zarof Ricar. Fickar merasa janggal dengan keputusan MA itu.
"Bahwa menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa adalah kewenangan seorang hakim, tetapi apakah etis, apakah adil sebuah penganiayaan yang menyebabkan kematian hanya dihukum hanya 5 tahun? Saya kira di situ persoalannya," ujar Fickar.
Fickar mengamati putusan hakim kasasi kasus Tannur cenderung tidak adil. Oleh karena itu, menurutnya, tiga hakim kasasi itu melanggar etika kepatutan.
"Penganiayaan yang menyebabkan kematian itu terlalu rendah dan tidak adil jika dihukum hanya 5 tahun, karena pelaku sudah bisa memperkirakan akan terjadinya kematian, soalnya terbukti ada sengaja menggiling korban dengan mobilnya," ujar Fickar.
Atas kecurigaan ini, Fickar mendorong KY dapat lebih maksimal dalam mengusut dugaan pelanggaran etik hakim kasasi Tannur. "KY bisa masuk sepanjang etiknya, kalau sudah masuk pidana korupsi tetap ditangani kejaksaan," ujar Fickar.
MA memutuskan kasus ini tak perlu diperpanjang dari segi etiknya. Sedangkan untuk urusan pidananya, MA menyerahkan kepada aparat penegak hukum.
Pemeriksaan ini dimulai dari Ketua MA Sunarto yang membentuk tim pemeriksa guna mendalami perkara dugaan pelanggaran KEPPH dalam kasus Ronald Tannur. Pemeriksaan ini didasari Surat Tugas No. 22/KMA/ST.PW1.3/ 10/ 2024 yang dikeluarkan oleh Sunarto pada 28 Oktober 2024.
Tim pemeriksa ini tersusun dari tiga orang hakim agung yang diketuai oleh Kamar Pengawasan Dwiarso Budi Santiarto. Adapun anggota tim pemeriksanya Jupriyadi dan Nor Ediyono yang merupakan hakim agung kamar pidana MA.
Dalam pemeriksaan itu, Sekretaris Mahkamah Agung sekaligus Plt Kepala Badan Pengawasan ditunjuk sebagai Sekretaris Tim Pemeriksa. Pembentukan tim pemeriksa ialah menyangkut dugaan pemufakatan jahat suap guna mengatur perkara kasasi Ronald Tanur.
Tim Pemeriksa menggelar pemeriksaan pada 4-12 November 2024. Pemeriksaan terhadap Zarof diadakan pada 4 November 2024 di Ruang Rapat Direkturat Eksekusi Jampidsus Kejaksaan Agung.
Adapun pemeriksaan terhadap Hakim Agung Soesilo (S), Ainal Mardhiah (A), dan Sutarjo (ST) digelar pada 12 November 2024 di Ruang Sidang Ketua Kamar Pengawasan B206 MA. Tim Pemeriksa juga memeriksa para saksi, para terkait dan terlapor, serta dokumen-dokumen yang relevan.
Putusan kasasi Ronald Tannur diketok pada 22 Oktober 2024. Putusan itu mengabulkan kasasi penuntut umum menyatakan terbukti dakwaan alternatif Pasal 351 ayat 3, dengan hukuman pidana 5 tahun penjara. Adapun penangkapan Hakim PN Surabaya terjadi pada 23 Oktober 2024 atau sehari seusai putusan kasasi.
Sebelumnya, penangkapan Zarof Ricar terjadi setelah penyidik Kejaksaan Agung menangkap tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dan pengacara Gregorius Ronald Tannur. Zarof ditangkap di Bali pada Kamis (24/10/2024).
Zarof merupakan pensiunan pegawai negeri sipil di MA. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Abdul Qohar mengungkapkan Zarof terlibat dalam pengurusan perkara di MA dengan fee sebesar Rp 1 miliar. Penyidik juga menemukan uang tunai hampir Rp 1 triliun dan 51 kilogram emas Antam di kediaman Zarof.