Ahad 19 May 2024 21:47 WIB

Imparsial: Pintu Sipil Dibuka untuk TNI, Susah Menutup Lagi

Revisi UU TNI mengancam profesionalisme TNI.

Direktur Program Imparsial Al Araf, menyebut ketika pintu sipil dibukakan untuk TNI maka sulit ditutup lagi. (foto ilustrasi)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Direktur Program Imparsial Al Araf, menyebut ketika pintu sipil dibukakan untuk TNI maka sulit ditutup lagi. (foto ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti Senior Imparsial, Al Araf , mengatakan, revisi Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, membuka ruang bagi militer untuk kembali dalam kehidupan sosial politik. Padahal jika ruang itu sudah dibuka maka akan sulit untuk menutupnya. 

Hal ini disampaikan Al Araf,  dalam Diskusi Publik Koalisi Masyarakat Sipil, Ahad  (18/5/2024). Diskusi mengambil tema ‘RUU TNI akan mengembalikan DwiFungsi ABRI dan Mengancam Demokrasi’.

“Revisi UU TNI yang akan dibahas oleh DPR nanti akan menjadi kotak pandora dan ruang baru bagi kembalinya militer dalam  fungsi-fungsi di luar fungsi pertahanan, dan itu akan membahayakan kehidupan demokrasi,” kata Al Araf dalam siaran persnya. 

Politik hukum pembentukan UU TNI itu, kata Al Araf, ditujukan sepenuhnya untuk membentuk TNI yang profesional. Karena itulah dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 militer diberikan tugas untuk fokus sebagai alat pertahanan negara. 

Pembentukan UU tentang TNI itu hadir dalam konstruksi politik yang menginginkan Indonesia hidup dalam alam demokrasi. “Sehingga militer sebagai instrument pengguna kekerasan yang dikendalikan oleh pemerintahan sipil sepenuhnya ditujukan untuk menjadi profesional,” ungkapnya. 

Menurunya, Undang-undang No. 34 Tahun 2004 juga ditujukan agar TNI tunduk pada peradilan umum dalam hal melakukan pidana umum. Tujuannya untuk memperkuat akuntabilitas dan transparansi serta prinsip equality before the law dalam penegakan hukum di Indonesia. 

Rancangan draft revisi undang-undang TNI, menurut Al Araf, bukan ditujukan untuk membentuk militer Indonesia yang profesionalisme. Tetapi justru membuat TNI semakin tidak professional dan membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement