REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bupati Sidoarjo, Ahmad Muhdlor Ali, mengatakan temuan kasus dugaan korupsi di Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Kabupaten Sidoarjo akan menjadi pembelajaran untuk tata kelola pemerintahan yang lebih baik di daerah ini.
"Semoga ini jadi awal untuk kebaikan Sidoarjo, pembelajaran agar tata kelola pemerintah lebih baik, transparansi, serta pelayanan prima kepada masyarakat," kata Muhdlor di sela pemeriksaan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih, Jakarta Selatan, Jumat.
Muhdlor akan kooperatif dengan penyidik KPK dan akan memberikan keterangan dengan sebenar-benarnya. "Intinya saya berusaha memberikan keterangan yang seutuh-utuhnya, sebenar-benarnya, dan kooperatif," ujarnya.
Meski demikian dia tidak berbicara banyak soal materi pemeriksaannya karena prosesnya masih berjalan. Selain Muhdlor, penyidik KPK hari ini juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap tiga saksi lainnya dalam perkara yang sama.
Ketiga saksi tersebut adalah ASN Pemda Sidoarjo Surendro Nurbawono, Direktur CV Asmara Karya Imam Purwanto alias Irwan, dan pihak swasta Robbin Alan Nugroho.
Sebelumnya, KPK pada tanggal 29 Januari 2024 menahan dan menetapkan Kasubag Umum dan Kepegawaian Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Kabupaten Sidoarjo Siska Wati (SW) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemotongan insentif pegawai di lingkungan BPPD Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menerangkan bahwa penetapan tersangka terhadap Siska Wati berawal dari laporan masyarakat soal dugaan korupsi berupa pemotongan insentif dan penerimaan uang di lingkungan BPPD Kabupaten Sidoarjo.
Laporan tersebut lantas dipelajari oleh tim KPK, kemudian pada hari Kamis (25/1) diperoleh informasi telah terjadi penyerahan sejumlah uang secara tunai kepada SW.
Atas dasar informasi tersebut, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap 10 orang di Kabupaten Sidoarjo.
Dalam OTT tersebut ini diamankan uang tunai ini sejumlah sekitar Rp69,9 juta dari dugaan pemotongan dan penerimaan uang sejumlah sekitar Rp2,7 miliar pada tahun 2023.
Para pihak tersebut berikut barang buktinya kemudian dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan, hingga akhirnya dilakukan penetapan status tersangka terhadap Siska Wati.
Ghufron menjelaskan bahwa kasus tersebut berawal pada tahun 2023. Saat itu besaran pendapatan pajak BPPD Kabupaten Sidoarjo mencapai Rp1,3 triliun dan atas perolehan tersebut ASN yang bertugas di BPPD akan mendapatkan dana insentif.
Namun, Siska Wati selaku Kasubag Umum dan Kepegawaian BPPD sekaligus bendahara secara sepihak melakukan pemotongan dana insentif dari ASN tersebut. Permintaan potongan dana insentif ini disampaikan secara lisan oleh SW kepada ASN di beberapa kesempatan.
Selain itu, adanya larangan untuk tidak membahas potongan dimaksud melalui alat komunikasi diantaranya melalui percakapan WhatsApp. Besaran potongan yang dikenakan mencapai 10—30 persen sesuai dengan besaran insentif yang diterima.
Penyerahan uang tersebut secara tunai dan dikoordinasi oleh setiap bendahara yang telah ditunjuk yang berada di bidang pajak daerah dan bagian sekretariat. Khusus pada tahun 2023, SW mampu mengumpulkan potongan dan penerimaan dana insentif dari ASN sekitar Rp2,7 miliar.
Sebagai bukti permulaan awal, besaran uang Rp69,9 juta yang diterima SW akan dijadikan pintu masuk untuk penelusuran dan pendalaman lebih lanjut.
Atas perbuatannya, tersangka SW dijerat dengan Pasal 12 huruf f Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2019 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.