REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Koalisi Masyarakat Melawan Lupa menyebut bangsa Indonesia punya utang sejarah penyelesaian kasus pelanggaran HAM, khususnya penghilangan aktivis. Negara tidak boleh lari dari tanggung jawab menyelesaikannya.
Hal ini disampaikan Ketua Badan Pengurus Centra Initiative,Al Araf, dalam diskusi publik dan deklarasi Korban: Masyarakat Sipil #Melawan Lupa, Rabu (26/7/2023). “Kita punya utang untuk menyelesaikan kasus tersebut. Karena dalam kasus tersebut khususnya penghilangan aktivis, kita bisa merayakan kebebasan, menikmati sistem demokrasi, pemilu yang bebas hari ini,” kata Al Araf, dalam siaran pers.
Para korban pelanggaran HAM ini, dia melanjutkan, adalah martir perubahan melawan rezim penindas. Mereka yang menjadi korban penculikan masa lalu itu sedang melawan rezim yang keras tersebut. "Sebagian dari mereka mengalami represi, bahkan masih hilang karena diculik,” kata dia. Jika rezim Orba tidak tumbang, belum tentu kebebasan belum akan dinikmati.
Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, merupakan tanggung jawab negara (state responsibility). Negara tidak boleh lari dari tanggungjawab konstitusional karena tidak mau menyelesaikan hal ini dengan penyelesaian secara hukum.
Aktivis SETARA Institute, Hendardi mengatakan proses penyelesaian kasus pelanggara HAM berat masa lalu tidak mendapat respon oleh Presiden. Pernah diusulkan untuk dibentuknya Tim Kepresidenan terkait pelanggaran HAM berat masa lalu. Tujuannya untuk memilah kasus yang bisa diselesaikan melalui jalur hukum dan yang diselesaikan dengan non-yudisial.
Namun, menurut Hendardi, TPPHAM yang dibentuk pemerintahan mencuri sebagian ide masyarakat sipil dalam hal penyelesian pelanggaran HAM masa lalu. Celakanya mereka mengakomodir para aktifis HAM di dalam tim tersebut.
“Ini memecah belah korban. Saya sama sekali tidak bisa terima hal ini karena telah memecah belah korban. Saya mendorong agar kita tolak tim TPPHAM agar para aktifis yang ada didalamnya untuk tidak dipolitisasi,* paparnya.