REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti Setara Institute, Ihsan Yosarie, mengatakan, penyelesaian kasus penghilangan paksa harus dilihat sebagai amanat konstitusi. Munculnya isu HAM disebutnya jauh dari isu lima tahunan karena telah menjadi amanat konstitusi.
Hal ini disampaikan dalam kegiatan diskusi 'Peringatan Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional’, yang diselenggarakan Koalisi Korban dan Masyarakat Sipil Melawan Lupa.
"Kalau lihat respon elit politik, mereka baru merespon Ketika kepentingannya terganggu. Makanya dialihkan dengan narasi isu lima tahunan. Padahal isu ini telah lama diperjuangkan oleh korban dan Masyarakat sipil,” kata Yosarie, dalam siaran pers, Rabu (31/8/2023).
Aksi Kamisan yang telah ratusaan kali dilakukan di depan istina, belum kunjung direspon pemerintah. "Amat sangat lemah narasi yang mengatakan hal ini adalah isu lima tahunan,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar, mengatakan, DPR secara kelembagaan pada 2009 telah mengeluarkan rekomendasi membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk kasus penghilangan orang secara paksa. "Faktanya 15 tahun kemudian pengadilan tersebut tidak pernah dibentuk. Justru orang -orang yang menjadi bagian dari kasus tersebut duduk atau berada di dalam lingkaran kekuasaan itu sendiri,” ungkap dia.
Dalam kasus penghilangan orang secara paksa, kata dia, berlaku satu teori yang disebut sebagai continuing crime atau kejahatan yang terus berlanjut sepanjang para korban belum ditemukan atau belum jelas statusnya. "Jadi kejahatan itu masih berjalan. Artinya kejahatan penghilangan orang secara paksa yang diakui di dalam hukum internasional HAM, dan hari ini bahkan diakui dalam KUHP kita itu kejahatannya masih berlanjut,” kata Wahyudi.
Aktivis 97/98 yang masih hilang belum jelas statusnya, apakah masih ada atau sudah meninggal. Sehingga kejahatan penghilangan paksa 97/98 masih terus berlangsung.