REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur tak percaya calon presiden (capres) nomor urut 2 Prabowo Subianto bakal membentuk pengadilan HAM ad hoc jika memenangi Pilpres 2024. Dia menyebut, pasangan Prabowo-Gibran merupakan kandidat yang paling sulit menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu.
"Di sini (debat Pilpres 2024), Prabowo terlihat yang paling tidak memiliki komitmen. Dia juga bermasalah catatan masa lalunya," ucap Isnur kepada wartawan di Jakarta dikutip Senin (18/12/2023).
Seperti debat pilpres lima tahunan, Prabowo kembali diserang isu HAM. Pada debat perdana Pilpres 2024, Selasa (12/12/2023), capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo yang mengungkit dugaan keterlibatan Prabowo dalam penculikan puluhan aktivis prodemokrasi pada kurun waktu 1997-1998.
Di sesi tanya jawab antarkandidat, Ganjar menanyakan dua hal. Pertama, apakah Prabowo akan membentuk pengadilan HAM apabila terpilih sebagai presiden sebagaiman rekomendasi DPR sejak 2009. Kedua, apakah Prabowo bisa membantu menemukan kuburan 13 aktivis yang hilang supaya keluarga korban bisa berziarah.
Dalam tanggapan pertama, Prabowo sempat menyebut pertanyaan Ganjar tendensius. Menteri pertahanan (menhan) tersebut berdalih isu HAM selalu dijadikan peluru untuk menyerangnya saat elektabilitasnya sedang tinggi. Tak puas, Ganjar menyebut Prabowo tak tegas. Prabowo merespons secara emosional.
"Kenapa yang 13 orang hilang itu ditanyakan kepada saya? Itu tendensius Pak Ganjar. Wakil bapak (Mahfud MD) yang mengurus selama ini. Jadi, kalau memang keputusannya mengadakan pengadilan HAM, ya, kita adakan. Enggak ada masalah. Ya, namanya usaha," ujar Prabowo ketika itu.
Ganjar disebut menjadi capres yang menyatakan secara tegas akan membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Dalam debat perdana, capres nomor urut 1 Anies Rasyid Baswedan lebih banyak mengulas kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Meski begitu, Isnur belum sepenuhnya yakin Ganjar dan Anies bakal menjalankan komitmen mereka untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu jika memenangi Pilpres 2024, termasuk dengan membentuk pengadilan ad hoc. "Tentu, walaupun meragukan, kita harus mendorong dan memaksa negara untuk melakukan kewajiban hukumnya," ujarnya.
Pembentukan pengadilan HAM merupakan harapan mayoritas keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu, semisal Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 3 Mei 1999, Peristiwa Wasior dan Wamena 2001, Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003, serta Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985.
Meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, hingga kini pemerintah tak juga membentuk lembaga peradilan yang khusus menangani kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat.
Isnur menjelaskan upaya membentuk pengadilan HAM adhoc selalu kandas lantaran terduga pelaku kerap berlindung di balik kekuasaan dan mendapatkan impunitas. Ia mencontohkan Wiranto yang justru dirangkul menjadi Menteri Koordinator Politik dan Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) pada periode pertama pemerintahan Jokowi.
"Kemudian Prabowo juga. Lihat saja bagaimana Jokowi memperlakukan mereka! Wiranto menjadi bagian dari timses ketika Jokowi naik. Kemudian, sekarang Prabowo menjadi menteri pertahanan. Jadi, ada kerumitan di situ yang membuat mereka (pemerintah) tidak serius menuntaskan HAM masa lalu," kata Isnur.