REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) RI Prof Mahfud MD mengatakan, banyak pihak tidak bisa membedakan antara pelanggaran HAM berat dengan kejahatan berat.
"Kejahatan HAM berat itu dilakukan oleh warga terhadap warga. Itu kejahatan HAM berat," kata Menko Polhukam RI Prof Mahfud MD di Padang, Senin (18/12/2023).
Sementara itu, yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Apabila pelakunya adalah negara dengan membuat sebuah rencana maka hal itu dapat disimpulkan sebagai pelanggaran HAM berat meskipun jumlah korban hanya satu orang.
Akan tetapi, jika dalam sebuah tragedi puluhan orang meninggal dunia dan ratusan orang luka-luka seperti yang terjadi di Sorong, Papua, dan dilakukan sekelompok penjahat, maka hal itu masuk ke dalam kategori kejahatan HAM berat.
"Jadi, harus dibedakan kejahatan HAM berat dengan pelanggaran HAM berat. Sayangnya terkadang orang meributkan itu dan menyebut pemerintah tidak mengerti definisinya," ujarnya menjelaskan.
Di hadapan mahasiswa Universitas Andalas, Prof Mahfud menjelaskan penyebab pelanggaran HAM berat tahun 1965 hingga kini tidak bisa dibawa ke pengadilan HAM karena sudah tidak mempunyai bukti-bukti kuat.
Selain itu, para pelaku pelanggaran HAM berat tahun 1965 juga sudah meninggal dunia sehingga sulit untuk menyeret kasus itu ke meja hijau, ujarnya.
"Kasus tahun 1965 itu, angkatan Jenderal Soeharto sudah mati semua, sementara yang belum mati tidak terlibat dalam pengambilan keputusan," kata dia menjelaskan.
Tidak hanya itu, keterlibatan Jenderal Soeharto juga belum dapat dibuktikan karena saat itu yang terjadi adalah perang sipil. Sebagai contoh yang terjadi di wilayah Jawa Timur antara PKI melawan pesantren.