REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengungkap, bahwa pemerintah daerah baru setuju memberikan dana hibah untuk pembiayaan Pilkada Serentak 2024 sebesar Rp 6,6 triliun. Padahal, total dana yang dibutuhkan Rp 35,8 triliun.
Komisioner KPU RI Yulianto Sudrajat menjelaskan, pembiayaan pilkada di 546 provinsi dan kabupaten/kota memang bersumber dari dana hibah masing-masing pemerintah daerah. Sejauh ini, baru 58 pemerintah daerah yang sudah menyetujui besaran dana hibah ke KPU daerah masing-masing.
Dari 58 pemda itu, jumlah anggaran yang disepakati dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) adalah Rp 6,6 triliun, tepatnya Rp 6.685.268.718.265. Artinya, masih ada 488 pemda yang belum membuat NPHD dengan nilai sekitar Rp 29,2 triliun.
Karena itu, Yulianto mendorong KPU provinsi maupun KPU kabupaten/kota agar segera membahas usulan dana pilkada dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Sebab, berdasarkan peraturan menteri dalam negeri, penyusunan dana hibah pilkada bisa langsung dilakukan antara KPU daerah dan pemerintah daerah, tak perlu review KPU RI.
Yulianto juga mengingatkan bahwa kesepakatan NPHD paling lambat dibuat pada 5 Desember 2023. "Ini menjadi tugas bersama kita, 89 persen daerah (yang belum NPHD) sekarang sedang proses penyusunan. Mudah-mudahan di Desember nanti sudah selesai semuanya," kata Yulianto dalam diskusi virtual Ditjen Polpum Kemendagri, Selasa (18/7/2023).
Dia berharap persoalan dana penyelenggaraan pilkada ini bisa selesai tepat waktu, sehingga KPU bisa melaksanakan Pilkada Serentak yang hari pencoblosannya dijadwalkan pada 27 November 2024. "Ini untuk memastikan penyelenggaraan pilkada dari aspek anggaran bisa selesai dan teman-teman KPU tinggal menyelenggarakan sesuai tahapan yang sudah kami rancang," kata Koordinator Divisi Perencanaan, Keuangan, Umum, Rumah Tangga, dan Logistik KPU RI itu.
Sementara, KPU tengah berjuang mendapatkan anggaran pilkada, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja justru mengusulkan agar pihak terkait mulai membahas opsi menunda Pilkada Serentak 2024. Menurut Bagja ada sejumlah masalah besar yang berpotensi terjadi apabila Pilkada Serentak dilaksanakan sesuai jadwal pada 27 November 2024.
Salah satunya adalah potensi gangguan keamanan yang tinggi karena pilkada digelar di semua provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan aparat tidak bisa diperbantukan ke daerah yang sedang mengalami gangguan keamanan, karena aparat fokus menjaga daerah masing-masing yang juga sedang menggelar pilkada.
"Kalau sebelumnya, misalnya pilkada di Makassar ada gangguan keamanan, maka bisa ada pengerahan dari polres di sekitarnya atau polisi dari provinsi lain. Kalau Pilkada 2024 tentu sulit karena setiap daerah siaga yang menggelar pemilihan serupa," ujar Bagja, dikutip dari lama resmi Bawaslu RI.
Usul Bagja itu dikritik banyak kalangan, mulai dari organisasi pemerhati pemilu, partai politik, hingga anggota DPR RI. Setelah ramai, Bagja enggan memberikan penjelasan lebih lanjut terkait usulan tersebut. Dia menyebut, usulan itu hanya sebatas bahasan dalam diskusi bersama Kantor Staf Presiden (KSP), bukan usulan resmi Bawaslu RI.