REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merespons temuan organisasi masyarakat sipil bahwa partai politik sudah mengeluarkan dana hingga miliaran rupiah untuk belanja iklan politik di media sosial meski masa kampanye belum dimulai. Menurut Bawaslu, partai politik yang berkampanye di medsos itu bisa dijatuhi sanksi administratif.
Komisioner Bawaslu RI Puadi menjelaskan, partai politik sebagai peserta pemilu saat ini belum boleh berkampanye di media sosial karena masa kampanye baru akan dimulai pada 28 November 2023. Larangan itu termaktub dalam Pasal 25 Peraturan KPU (PKPU) 33/2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum.
Partai yang melanggar ketentuan tersebut, lanjut dia, bisa dijatuhi sanksi administratif sebagaimana tertera dalam Pasal 74 dalam PKPU 33/2018. Sanksinya berupa peringatan tertulis, pembersihan alat peraga kampanye serta penghentian iklan kampanye di media sosial dan media lainnya.
Meski demikian, Puadi mengaku baru akan menindak partai yang memasang iklan kampanye di medsos itu apabila Bawaslu secara mandiri mendapatinya atau ada laporan dari masyarakat.
"Ketika ada informasi awal (dari masyarakat), atau mungkin hasil pengawasan Bawaslu, kita akan coba melakukan proses penelusuran dan pendalaman," ujar Puadi kepada wartawan di kantornya, Jakarta, dikutip Selasa (11/7/2023).
Karena itu, Puadi meminta masyarakat yang merasa resah dengan iklan partai politik di medsos untuk melapor ke Bawaslu. Kendati begitu, Puadi membantah lembaganya baru akan bergerak apabila ada laporan. Dia berkilah bahwa Bawaslu selama ini sudah melakukan pencegahan.
"Kami tidak hanya menanti (laporan dari masyarakat). Bawaslu titik awalnya sudah dimulai dengan upaya pencegahan dan mengingatkan beberapa partai politik soal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan," ujarnya.
Sebelumnya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan, partai politik dan politisi sudah jor-joran belanja iklan politik di medsos meski masa kampanye belum dimulai. Hal itu diketahui Perludem dari data belanja iklan yang dipublikasikan Facebook.
Berdasarkan laporan Facebook sejak 2020, sedikitnya sudah Rp 55 miliar belanja iklan berkaitan dengan sosial politik dikucurkan ke medsos asal Amerika Serikat itu. Sedangkan, dalam 90 hari terakhir tahun 2023, juga sudah miliaran rupiah belanja iklan politik yang mengatasnamakan sejumlah politikus kondang dan partai politik di Facebook.
"Sudah banyak sekali uang dikeluarkan di luar masa kampanye (untuk iklan politik di medsos). Iklan politik itu berbahaya dan perlu ada standar transparansi," kata Peneliti Perludem Nurul Amalia Salabi di Jakarta, dikutip Rabu (28/6/2023).
Disebut berbahaya karena iklan politik tanpa aturan bisa digunakan untuk memanipulasi opini publik seperti halnya dilakukan buzzer atau pendengung. Amalia menjadikan pilpres Amerika Serikat pada 2016 sebagai contoh. Ketika itu, capres dari Partai Republik, Donald Trump berhadapan dengan capres Partai Demokrat, Hillary Clinton.
Trump keluar sebagai pemenang. Sejumlah media internasional melaporkan, kemenangan Trump dimotori oleh strategi kampanye medsos yang kontroversial melalui Cambridge Analytica. Amalia mengatakan, tim kampanye Trump membuat iklan politik manipulatif yang khusus menyasar pemilih Demokrat.
"Trump itu ada konten-konten ke pemilih Demokrat, yang pesannya agar tidak usah memilih karena suaranya Hillary Clinton sudah tinggi. Itulah kenapa pemilih Demokrat tidak datang ke TPS dan itu memang (hasil) iklan pemilu yang bertarget," kata Amalia.
Bukan tidak mungkin politisi di Indonesia meniru strategi Trump. Karena itu, Amalia meminta KPU mengatur transparansi dan akuntabilitas peserta pemilu terkait belanja iklan di medsos.