REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan menyangkut tempat dilarang kampanye yang diatur Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Kamis (6/7/2023). Permohonan uji materiil bernomor Nomor 65/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh Handrey Mantiri dan Ong Yenni.
Kuasa hukum pemohon Donny Tri Istiqomah menyebut kliennya Handrey adalah warga negara sekaligus pemilih pada Pemilu 2024. Sedangkan Ong Yenni (Pemohon II) adalah warga negara yang menjadi calon anggota legislatif.
Donny memaparkan pokok permohonan pengujian materiil Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu. Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu menyatakan, “Pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat Pendidikan”.
Sedangkan penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu menyatakan, “Fasilitas pemerintah, tempat Ibadah, dan tempat Pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.
"Penjelasan pasal ini membolehkan untuk kampanye menggunakan fasilitas pemerintah, kampanye di tempat ibadah dan pendidikan. Prinsipnya diperbolehkan. Sementara normanya menyatakan dilarang. Dampaknya buat para Pemohon secara konstitusional potensi kerugiannya pertama untuk Pemohon II ini agamanya Buddha dalam konteks kampanye di tempat ibadah itu setidaknya ada ketidakadilan," kata Donny dalam sidang itu.
Donny memandang diperbolehkannya menggunakan fasilitas pemerintah untuk kampanye akan membuat Pemerintah sulit bersikap netral kepada semua peserta Pemilu. Sebab, Presiden dan kepala daerah walaupun dipilih secara langsung oleh rakyat namun pencalonannya tetap diusung dan diusulkan oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik.
Dengan dibukanya peluang bagi Presiden dan/atau kepala daerah untuk mengijinkan digunakannya fasilitas Pemerintah (kantor pemerintah, mobil dinas, alun-alun, lapangan upacara dan lain-lain) dikhawatirkan Presiden dan/atau kepala daerah hanya akan memberikan fasilitas itu kepada peserta pemilu (partai politik) yang menjadi pengusung dan pendukungnya saja.
"Penggunaan fasilitas umum sebagai tempat kampanye hanya menjadi tempat mereka yang berkuasa di daerah itu. Akibatnya, dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap proses politik," ujar Donny.
Selanjutnya, terkait penggunaan tempat ibadah, Pemohon meyakini kehidupan beragama tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. "Kampanye di tempat pendidikan jelas berpotensi membagi institusi-institusi pendidikan ke dalam berbagai aliran politik," kata Donny menegaskan.
Untuk itu, dalam petitum, MK diminta Pemohon untuk menyatakan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf f UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.