REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kandidat calon presiden yang akan maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang menghadapi tantangan menggaet pemilih yang didominasi kalangan muda. Hal ini setelah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 menunjukkan 56,45 persen dari 204.807.222 yakni 113.622.550 pemilih dari kelompok generasi Z dan milenial.
Generasi milenial adalah sebutan untuk orang-orang yang lahir tahun 1980 sampai 1994. Sedangkan generasi Z merujuk pada orang yang lahir mulai tahun 1995 hingga 2000-an.
Pengamat politik dari lembaga Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan, pemilih dengan rentang usia muda cenderung agitatif yakni memilih berdasarkan paparan propaganda serta fanatik pada kandidat yang sejak awal disukai. Hal ini menurutnya, tidak semata-mata karena gagasan atau ide politik.
"Berbagai faktor, misalnya karena pernah bertemu, terlibat dalam aktifitas kerelawanan dan hal lain yang seringkali bukan karena gagasan atau ide politik," ujar Dedi dalam keterangannya, Senin (3/7/2023).
Dedi juga tidak sepenuhnya sepakat dengan anggapan jika pemilih muda lebih rasional dibandingkan kelompok pemilih lain. Menurut Dedi, pemilih muda cenderung rawan, karena ketika sudah terlanjur terkelompok, maka potensi berpindah haluan lebih sulit dibanding kelompok matang dan dewasa.
Namun, Dedi menilai kelompok pemilih ini juga mudah terprovokasi dengan kampanye yang bermuatan propaganda. Dengan situasi itu, kata Dedi, untuk menggaet pemilih mayoritas di Pilpres 2024 diperlukan kreativitas dalam kampanye.
"Bukan hanya gagasan dan ide yang subtabsial. Untuk itu kandidat yang berkualitas tetapi minim kreativitas kampanye, bisa kehilangan simpati publik muda ini," ujar Dedi.
Dedi melanjutkan, meski gagasan penting, tetapi kondisi politik saat ini mengarah perlunya teknik propaganda yang efektif. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah kandidat yang elektabilitasnya tinggi meskipun rekam jejak kepemimpinanannya dinilai gagal.
"Tentu saja, gagasan itu penting, tetapi anomali iklim politik kita mengarah pada teknis propaganda, kita bisa lihat kandidat misalnya Ganjar Pranowo, di mana Jateng masuk kategori provinsi miskin, padahal ada di pusat kekuasaan, tetapi Ganjar miliki Elektabilitas yang tinggi, ini yang dimaksud bahwa gagasan tidak selalu berhasil di kalangan pemilih," ujarnya.
Dedi menambahkan, risiko lainnya adalah tidak ada jaminan loyalitas dari kelompok pemilih muda ini. Meski jumlahnya besar, tetapi tingkat kedatangan ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) juga tidak terlalu tinggi.
"Pemilih muda tidak miliki jaminan loyal pada pemilihan, jumlah mereka besar, tetapi yang datang ke TPS bisa jadi tidak sebesar saat lakukan propaganda," ujarnya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menetapkan 204.807.222 warga negara sebagai pemilih atau masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024. Menariknya, separuh lebih pemilih adalah anak muda, yakni generasi Z dan milenial.
Komisioner KPU RI Betty Epsilon Idroos mengatakan, sebanyak 46.800.161 atau 22,85 persen pemilih merupakan generasi Z. Sedangkan pemilih dari generasi milenial sebanyak 66.822.389 orang atau 33,60 persen.
Jika ditotalkan, pemilih dari generasi Z dan milenial ini berjumlah 113.622.550 orang. Jumlah pemilih muda ini mendominasi karena mencapai 56,45 persen dari total pemilih.
Betty mengatakan, selain generasi Z dan milenial, pemilih Pemilu 2024 berasal dari tiga generasi sebelumnya. Sebanyak 57.486.482 atau 28,07 persen pemilih adalah generasi X atau orang kelahiran 1965 hingga 1979.
Lalu, 28.127.340 atau 13,73 persen pemilih merupakan generasi baby boomer (kelahiran 1944-1964). Sisanya, 3.570.850 atau 1,74 persen pemilih merupakan generasi pre-boomer atau orang yang lahir sebelum tahun 1944.