REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengkritisi penanganan kasus anak inisal R (14 tahun) yang membakar sekolahnya sendiri di Temanggung. Komnas PA menilai polisi terlalu berlebihan dan gagal paham atas perkara tersebut.
Ketua Umum Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengingatkan hak-hak R yang diatur UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan UU Perlindungan anak. Arist menekankan setiap anak wajib dilindungi hak-haknya dalam situasi apapun.
Arist menyayangkan ekspos yang dilakukan Polres Temanggung beberapa waktu lalu menghadirkan R di hadapan publik dengan kawalan polisi lengkap menggunakan senjata laras panjang.
"Ini ekspos berlebihan dan tidak sensitif terhadap hak anak, apalagi usia pelaku dalam perkara ini masih berusia 14 tahun," kata Arist dalam keterangannya pada Senin (3/7/2023).
Atas peristiwa ini, Komnas PA mendesak Komisi Nasional Polisi Nasional (Kompolnas) dan Kapolda Jawa Tengah untuk menangani perkara ini secara adil. Arist mendorong pendekatan anak sebagai pelaku dan korban.
"Apa yang dilakukan Polres Temanggung itu merupakan pelanggaran terhadap hak anak dan gagal paham terhadap hak anak baik anak sebagai pelaku dan korban," ujar Arist.
Arist memandang R dapat dikategorikan sebagai pelaku maupun korban dari latar belakang tindak pidananya. Dengan demikian R harus mendapat penanganan dan pendekatan yang mempunyai perspektif anak.
"Pastikan pelaku mendapat perlindungan atas perbuatan anak sebagai pelaku sekaligus korban," ucap Arist.
Arist juga mengingatkan sejumlah hak R sesuai aturan yang berlaku. Yaitu identitas, maupun wajah R tidak dibenarkan diekspos, ancaman hukuman terhadap R tidak lebih dari 10 tahun penjara, sidangnya harus tertutup, ditempatkan di rumah sosial kesejahteraan anak yang disediakan pemerintah.
"Melihat latar belakang perkara ini Komnas PA mendesak Polres Temanggung agar menggunakan pendekatan hukumnya anak sebagai pelaku dan korban," ujar Arist.
Sebelumnya, masyarakat dikagetkan oleh siswa SMP berinisial R di Jawa Tengah yang melakukan pembakaran sekolahnya sendiri. R melakukannya dengan motif sakit hati karena mengalami perundungan secara kontinu oleh kawan-kawannya, bahkan juga guru prakaryanya.
Dalam keterangannya, R mengaku pernah mengadu ke pihak sekolah atas pengeroyokan yang dialaminya, tapi pihak sekolah hanya memanggil para pelaku pengeroyokan dan tidak memberikan sanksi apapun.
Akibat tindakannya, R diancam dengan Pasal 81 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Pidana Anak.