Senin 03 Jul 2023 06:33 WIB

Jaga Anak Pembakar Sekolah Korban Bully dengan Laras Panjang, Polisi Dikecam

Polisi dikecam akibat menjaga anak pembakar sekolah korban bully dengan senjata laras

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bilal Ramadhan
Eks Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti. Polisi dikecam akibat menjaga anak pembakar sekolah korban bully dengan senjata laras
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Eks Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti. Polisi dikecam akibat menjaga anak pembakar sekolah korban bully dengan senjata laras

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerhati anak dan pendidikan, Retno Listyarti, menilai pihak kepolisian tak paham Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dan UU Perlindungan Anak dalam menampilkan terduga pelaku anak pembakar sekolah di Temanggung, Jawa Tengah. Penggunaan laras panjang di sisi anak yang tak akan mampu melarikan diri dan melawan aparat dinilai tak tepat dilakukan.

"Apalagi didampingi polisi dengan senjata laras panjang. Padahal ananda R tidak akan mampu melarikan diri dan melawan aparat," ujar mantan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu lewat keterangannya, Ahad (2/6/2023).

Baca Juga

Retno mengatakan, dalam UU SPPA pasal 19 (1) disebutkan, identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Adapun ayat (2) memerinci apa saja yang merupakan identitas anak, yakni nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak jorban, dan/atau anak saksi.

"Menampilkan anak R dalam konfrensi pers meski menggunakan penutup wajah sekalipun, sudah berpotensi kuat ikut mengungkap jati diri anak," jelas Retno.

Media televisi, cetak, dan elektronik, kata dia, dapat menampilkan fisik anak R dan pasti akan mengambil gambar bagian wajah yang tertutup. Menurut dia, itu berarti polisi justru memfasilitai media melanggar pasal 19 UU SPPA. Padahal, ada saksi atas pelanggaran pasal itu yang dapat dikenakan terhadap media.

Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia itu juga menilai pihak kepolisian berpotensi melanggar hak anak memperoleh pendidikan. Menurut dia, perlakuan pihak kepolisian yang berlebihan dapat berdampak pada massa depan R, seperti hilangnya hak melanjutkan pendidikan.

"Karena setelah pemberitaan tersebut, anak R berpotensi tidak diterima lagi oleh pihak sekolah karena dianggap mencemarkan nama baik sekolah dan seolah penjahat yang berbahaya," kata dia.

Dia menerangkan, kalaupun nantinya anak R sudah menjalani proses hukum, dia akan kesulitan mendapat sekolah yang mau menerimanya melanjutkan pendidikan. Padahal, anak R berhak mendapatkan pendidikan meski sebagai pelaku pidana sekalipun, karena dia masih anak dibawah umur.

"Anak R juga berhak melanjutkan masa depannya meski pernah dihukum sekalipun. Itu semua dijamin dalam UU Perlindungan Anak," jelas dia.

Namun, kata Retno, ketika diliput luas oleh media bahkan diambil foto dan videonya, maka anak R akan berpotensi kuat mendapatkan stigma buruk berkepanjangan. Hal itu dia sebut dapat berdampak pada masa depannya yang berpotensi suram, seperti sulit mendapatkan sekolah, mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya.

"Hal tersebut berpotensi kuat terjadi sebagai dampak pemberitaan dan identitas yang muncul di publik, dan ironisnya itu dilakukan oleh APH," kata dia.

Untuk itu, dia mendesak Kompolnas, Irwasun Polri, KPAI dan Dewan Pers untuk turun tangan menyikapi hal itu. Para pihak terkait dapat bertindak sesuai kewenangan masing-masing. Dia berharal peristiwa itu menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk peka dan memiliki persfektif perlindungan anak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement