Ahad 02 Jul 2023 15:05 WIB

FSGI Kecam Sikap Polisi pada Anak Pembakar Sekolah Korban Bully

R masih berusia 13 tahun seharusnya tidak perlu ditampilkan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Lida Puspaningtyas
Kebakaran di sekolah (ilustrasi).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Kebakaran di sekolah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti memprotes sikap polisi terhadap terduga pelaku pembakar sekolah karena perundungan berinisial R (13 tahun). R dinilai ditampilkan secara berlebihan oleh pihak kepolisian dalam sebuah konferensi pers.

Dalam konferensi pers itu ditampilkan seorang polisi berseragam yang memegang senjata laras panjang di hadapan R. Retno menduga polisi tidak memahami UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan Konvensi Hak Anak. Retno meyakini apa yang dilakukan kepolisian berpotensi kuat melanggar UU SPPA dan UU Perlindungan Anak.

Baca Juga

"Meski R telah melakukan tindak pidana pengrusakan, namun R yang masih berusia 13 tahun seharusnya tidak perlu ditampilkan dalam konferensi pers, apalagi didampingi polisi dengan senjata laras panjang, padahal R tidak akan mampu melarikan diri dan melawan aparat," kata Retno dalam keterangannya pada Ahad (2/7/2023).

Dalam UU No 11 Tahun 2012 pada Pasal 19 (1) disebutkan identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Adapun ayat (2) merinci apa saja yang merupakan identitas anak meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi.

"Menampilkan R dalam konferensi pers meski menggunakan penutup wajah sekalipun, sudah berpotensi kuat ikut mengungkap jati diri anak," ujar Retno.

Retno juga khawatir perlakuan kepolisian  yang berlebihan dapat berdampak pada hilangnya hak melanjutkan pendidikan karena R berpotensi tidak diterima lagi oleh sekolah manapun. Kalaupun R sudah menjalani proses hukum nantinya, Retno mensinyalir R tetap kesulitan mendapatkan sekolah yang mau menerimanya melanjutkan pendidikan.

"Padahal R berhak mendapatkan pendidikan meski sebagai pelaku pidana sekalipun, karena dia masih anak di bawah umur. Anak R juga berhak melanjutkan masa depannya meski pernah dihukum sekalipun," ucap eks Komisioner KPAI itu.

Oleh karena itu, Retno mendorong Irwasum Polri dan Kompolnas menyelidiki dugaan pelanggaran UU PA dan UU SPPA yang dilakukan oleh kepolisian.

"Harus diingat R juga korban pembullyan, apa yang dilakukan merupakan akibat dari sebuah sebab yang dialaminya dari lingkungan tempat dia bersekolah," ujar Retno.

Sebelumnya, publik dihebohkan dengan seorang peserta didik berinisial R di Jawa Tengah yang melakukan pembakaran sekolah. R melakukannya dengan motif sakit hati karena mengalami perundungan secara terus-menerus oleh kawan-kawannya, bahkan juga guru prakaryanya.

Dalam keterangannya, R mengaku pernah mengadu ke pihak sekolah atas pengeroyokan yang dialaminya, tapi pihak sekolah hanya memanggil para pelaku pengeroyokan dan tidak memberikan sanksi apapun. Akibat tindakannya, R diancam dengan Pasal 81 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Pidana Anak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement