Kamis 01 Jun 2023 05:45 WIB

Skenario Penundaan Pemilu 2024 Akibat Putusan MK

Menurut Perludem, sangat berbahaya ketika sistem pemilu diputuskan oleh MK.

Mahkamah Konstitusi, ilustrasi
Mahkamah Konstitusi, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Nawir Arsyad Akbar

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan, ada kemungkinan pelaksanaan Pemilu 2024 tertunda apabila Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penggunaan sistem proporsional tertutup alias sistem coblos partai. Peneliti Perludem Kahfi Adlan Hafiz menjelaskan, tahapan Pemilu 2024 saat ini sudah berjalan menggunakan sistem proporsional terbuka, sebagaimana diatur dalam UU Pemilu.

Baca Juga

Jika MK mengabulkan gugatan atas sistem proporsional terbuka dan mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup, akan muncul ketidakpastian hukum. Sebab, lanjut dia, sistem proporsional terbuka merupakan "jantung" UU Pemilu. Pasal-pasal yang mengatur sistem proporsional terbuka terkoneksi dengan pasal-pasal lainnya dalam beleid tersebut. 

"Ketika pasal (sistem proporsional terbuka) dibatalkan, maka yang terjadi adalah UU Pemilu-nya pun bahkan berpotensi bisa batal juga di tengah tahapan penyelenggaraan pemilu yang saat ini tengah kita laksanakan," kata Kahfi di Gedung MK, Rabu (31/5/2023). 

Kahfi melanjutkan, apabila UU Pemilu yang merupakan kerangka pelaksanaan pemilu itu batal, tentu gelaran Pemilu 2024 akan buyar. "Bisa jadi akan berdampak pada penundaan (pemilu) dan sebagainya yang itu tidak kita harapkan," ujarnya. 

Karena itu, ujar Kahfi, Perludem sebagai Pihak Terkait dalam uji materi sistem proporsional terbuka ini meminta MK menolak gugatan tersebut. Kahfi menjelaskan, Perludem meminta MK menolak karena bukan ranah lembaga tersebut memutuskan sistem pemilu yang akan digunakan. Sebab, tidak ada isu konstitusionalitas dalam penentuan sistem pemilu karena UUD 1945 tidak menentukan sistem pemilu yang harus digunakan. 

UUD 1945, lanjut dia, memberikan keleluasaan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan sistem pemilu apa yang paling cocok digunakan di Indonesia. "Artinya kan sistem pemilu itu adalah pilihan politik dengan mempertimbangkan misalnya konfigurasi politik di Indonesia, mempertimbangkan sosiokultural yang ada dan lain sebagainya," kata Kahfi. 

Apabila MK nekat memutuskan sistem proporsional tertutup adalah konstitusional, maka sistem lain berarti inkonstitusional. Akibatnya, pembentuk undang-undang yakni DPR dan Pemerintah tidak bisa lagi mengevaluasi atau mengganti sistem pemilu pada kemudian hari sesuai perkembangan kebutuhan. 

"Dalam kesimpulan, kami tegaskan bahwa akan sangat berbahaya ketika sistem pemilu itu diputuskan oleh MK," ujar Kahfi. 

Gugatan uji materi atas sistem proporsional terbuka ini diajukan oleh enam warga negara perseorangan pada akhir 2022 lalu. Para penggugat yang salah satunya kader PDIP meminta MK memutuskan pemilihan legislatif menggunakan sistem proporsional tertutup. 

Gugatan ini mendapat sorotan publik. Sebab, tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan dengan menggunakan sistem proporsional terbuka. Pekan lalu, mantan wakil menteri hukum dan HAM Denny Indrayana mengaku mendapat informasi bahwa MK akan memutuskan penerapan sistem proporsional tertutup untuk Pemilu 2024. Adapun MK baru akan menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk menentukan putusan.

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Pemenang kursi anggota dewan ditentukan oleh parpol lewat nomor urut calon anggota legislatif (caleg) yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999. 

Adapun dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg ataupun partai yang diinginkan. Caleg dengan suara terbanyak berhak duduk di parlemen. Sistem ini dipakai sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement