Senin 24 Nov 2025 07:49 WIB

Dedi Mulyadi Terapkan Konsep Tata Ruang Sunda untuk Cegah Bencana, Begini Penjelasannya

Dedi menilai, pembangunan di Jabar perlu mengembalikan konsep tata ruang Sunda.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Mas Alamil Huda
Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi menilai, Sunda tidak hanya soal suku, ras, atau sekadar urusan geografis. Lebih dari itu, ia menyebut Sunda sebagai
Foto: Edi Yusuf
Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi menilai, Sunda tidak hanya soal suku, ras, atau sekadar urusan geografis. Lebih dari itu, ia menyebut Sunda sebagai

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menilai, Sunda tidak hanya soal suku, ras, atau sekadar urusan geografis. Lebih dari itu, ia menyebut Sunda sebagai "laboratorium hidup" yang memberikan banyak pelajaran, seperti konsep tata ruang.

Dalam konsep tata ruang Sunda, terdapat prinsip gunung kudu awian, lengkob kudu balongan, lebak kudu sawahan. Artinya, kawasan perbukitan harus tetap hijau dan ditumbuhi tanaman-tanaman berkayu sebagai penyangga tanah agar tak terjadi erosi atau longsor.

Baca Juga

Sedangkan 'lengkob', artinya daerah lembah sepatutnya memiliki kantung-kantung air seperti balong, kolam, atau danau. Sementara lebak atau kawasan datar, dapat menjadi areal persawahan yang ditanami padi sebagai sumber makanan pokok.

"Jika konsep tata ruang Sunda diterapkan dengan baik, diharapkan dapat meminimalisir terjadinya bencana hidrologis, mulai dari tanah longsor di kawasan hulu, hingga banjir di kawasan dataran," ucap Dedi, pada acara Puncak Musyawarah Tahunan II, Majelis Musyawarah Sunda, di Bale Gemah Ripah, Gedung Sate Bandung, Sabtu (22/11/2025).

Untuk itu, Dedi menilai, pembangunan di Jabar perlu mengembalikan konsep tata ruang Sunda. Karenanya, ia saat ini membongkar bangunan di sempadan sungai agar aliran air bisa lancar. Alih fugsi lahan dilarang sebab sebisa mungkin alam harus kembali ke fungsi alaminya.

Menurutnya, para pemangku kepentingan perlu belajar kepada masyarakat adat Sunda soal pembangunan berkelanjutan, ketahanan pangan, hingga kehidupan sosiokultural yang harmonis.

"Maka kepada para birokrat, politisi, dan para pemangku kepentingan lainnya, masyarakat adat jangan dikenalkan dengan 'budaya proposal' karena itu akan berseberangan nilai-nilai adat budaya," tukas Dedi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement