REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum yang juga mantan hakim Mahkamah Konstitusi I Dewa Gede Palguna memberikan asumsi logis mengapa MK sejatinya tidak bisa menerima gugatan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK.
Ia menilai terkait urusan masa jabatan KPK, itu tidak bisa dinyatakan konstitusional atau tidak konstitusional. Karena memang tidak ada ketegasan di dalam konstitusi.
"Kecuali yang secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 seperti masa jabatan presiden lima tahun dan sesudahnya bisa dipilih kembali untuk masa jabatan yang sama satu kali. Kalau yang ini 'kan tidak," ujarnya, Jumat (27/5/2023).
Menurut dia, keputusan masa jabatan itu yang namanya "legal policy' dari pembentuk undang-undang dan itu tidak bisa dipengaruhi oleh Mahkamah Konstitusi dengan menyatakan ini konstitusional dan itu tidak konstitusional.
"Oleh karena sudah menjadi putusan Mahkamah Konstitusi ya sudah mulai berlaku sejak selesai diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Pasal 47 dalam UU Mahkamah Konstitusi mengatakan punya kekuatan hukum mengikat jadi mau apalagi," katanya.
Tetapi kemudian, kata Dewa Palguna, putusan itu akan menjadi milik publik dalam pengertian sekarang sudah diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, maka hak publik untuk mengkritisi itu. "Termasuk saya sebagai bagian dari publik yang kebetulan dulu pernah ada di sana (MK)," ujarnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi judicial review terkait masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun, menjadi lima tahun dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Permohonan uji materi terkait masa jabatan Pimpinan KPK itu diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. "Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (25/5).