REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memicu polemik di masyarakat.
Pakar hukum tata negara dan konstitusi dari Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, turut bersuara. Dia menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK justru menimbulkan problem baru. Bahkan putusan itu menurutnya mengandung sifat multitafsir.
Fahri berpendapat sulit untuk membangun korelasi sebagai justifikasi dari putusan MK dalam perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 terhadap keabsahan pimpinan KPK saat ini. Sebab dalam putusan itu tidak memberikan jalan keluar sebagai konsekuensi diterimanya permohonan ini.
"Hakikatnya ini bukan merupakan pijakan konstitusional yang diberikan MK kepada pimpinan KPK saat ini sebagai sebuah pranata serta transfer kewenagan transisi sampai dengan Desember 2024," kata Fahri dalam keterangannya pada Sabtu (27/5/2023).
Fahri memandang pimpinan KPK saat ini belum tentu dapat menikmati berkah putusan MK. Dia meyakini putusan MK bersifat prospektif ke depan dan tidak retroaktif ke belakang.
"Dengan demikian presiden sebagai kepala negara akan diperhadapkan dengan suatu kondisi yang sangat problematis sehingga membutuhkan suatu kehati-hatian yang tinggi," ujar Fahri.
Fahri melihat pertimbangan MK terkait hal-hal transisi dalam putusan ini sangat sumir dan absurd. Sehingga ketika membaca pertimbangan hukum maupun amar putusan yang dikaitkan dengan alibi perpanjangan pimpinan KPK saat ini menjadi membingungkan.
"Inilah yang menimbulkan debat, hal ini idealnya harus terantisipasi lewat putusan MK," sebut Fahri.
Baca juga: Mualaf Theresa Corbin, Terpikat dengan Konsep Islam yang Sempurna Tentang Tuhan
Fahri juga mempertanyakan standar ganda MK dalam memandang "open legal policy". Sebab dalam pertimbangan hukum, MK mengatakan meskipun pengaturan mengenai masa jabatan pimpinan KPK merupakan kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang, akan tetapi prinsip kebijakan hukum atau dikenal sebagai "open legal policy" dapat dikesampingkan apabila bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable.
"Ini merupakan penyalahgunaan wewenang atau dilakukan secara sewenang-wenang dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang," ujar Fahri.