REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid, menilai penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam Revisi Undang-undang (RUU) tentang TNI, adalah sebuah kekeliruan. Ada kekhawatiran kebijakan ini akan membuat TNI di atas hukum.
Usman mengatakan kebijakan tersebut menunjukkan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara. "Penambahan jumlah Operasi Militer Selain Perang dari 14 menjadi 19 itu jelas satu hal yang sangat keliru yang ada di dalam Revisi UU TNI,” kata Usman dalam siaran pers atas kegiatan Diskusi Publik Imparsial “Refleksi 25 tahun Reformasi: RUU TNI Mengancam Demokrasi dan Melanggar Konstitusi”, di Café Sadjoe Tebet, Ahad (21/5/2023).
Dipaparkannya, TNI akan kembali berada di atas hukum dan tidak lagi berada di dalam kesetaraan di muka hukum apabila Undang-undang ini direvisi. Sehingga capaian reformasi militer terancam mundur total jika pemerintah mengesahkan revisi UU TNI.
Revisi UU TNI ini, menurutnya, menjadi cek kosong untuk mengembalikan TNI kepada fungsi politik dan sosialnya sebagaimana zaman rezim Orde Baru. “Neo developmentalisme atas nama pembangunan kemudian menyeret TNI kepada fungsi yang bukan urusan pertahanan,” kata dia.
Seharusnya pemerintah membuat kebijakan negara melalui Dewan Pertahanan Negara yang hingga saat ini pun belum dibentuk. Padahal hal ini diamanatkan dalam UU Pertahanan Negara.
"Otoritas sipil juga berupaya menyeret TNI untuk terlibat dalam urusan pemberantasan narkotika, menjaga pembangungan, dan sejumlah tugas dan fungsi yang memundurkan reformasi TNI,” kata Usman.
Ketua YLBHI, M. Isnur, menilai, revisi UU TNI ini ingin menambahkan atau repositioning TNI untuk terlibat dalam urusan keamanan dalam negri. "Hal ini tentunya sudah lari dari komitmen kita berkonstitusi. Ini mengingkari sejarah dan konstitusi. Draft revisi UU TNI terdapat penambahan jabatan TNI aktif dalam institusi sipil, masuk dalam tugas-tugas menjaga keamanan, masuk ke posisi/ jabatan politik sipil,” ungkap Isnur.
Keterlibatan TNI dalam program yang telah berjalan seharusnya lebih dahulu dievaluasi. "Kita harus mengawal perubahan dalam reformasi pertahanan dalam TNI. Demokrasi dan HAM serta paling utama Konstitusi harus diperhatikan dan menjadi acuan. Tahun 1998 menandai adanya perubahan wewenang TNI. Bahwa TNI harus fokus sebagai alat pertahanan,” papar dia.