Rabu 22 Feb 2023 18:18 WIB

Pemilu 2024 Dicurigai akan Ditunda Lewat Putusan MK

MK diprediksi akan menerima gugatan sistem proporsional terbuka, pemilu pun ditunda.

Penyelenggaraan pemilu mengecek surat suara. Dalam waktu dekat, MK akan memutus uji materi UU Pemilu terkait sistem proporsional pemilu. (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Penyelenggaraan pemilu mengecek surat suara. Dalam waktu dekat, MK akan memutus uji materi UU Pemilu terkait sistem proporsional pemilu. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Antara

Pasal yang mengatur sistem pemilu proporsional terbuka dalam UU Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDIP), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono dengan Nomor 114/PUU-XX/2022. Para pemohon mendalilkan Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf b, Pasal 386 Ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), Pasal 426 Ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.

Baca Juga

Ahli Hukum Tata Negara sekaligus Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menduga gugatan ke MK untuk mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup memiliki tujuan terselubung. Yakni, untuk menunda pesta demokrasi lima tahunan tersebut.

"Saya khawatir perubahan sistem ini adalah akal-akalan untuk kemudian, misalnya, yang sedang marak dibicarakan soal potensi penundaan pemilu," kata Feri Amsari di Jakarta, Rabu (22/2/2023).

Hal tersebut disampaikan Feri dalam diskusi bertajuk "Perubahan Sistem Pemilu dan Dampaknya bagi Demokrasi Indonesia" yang diadakan Forum Diskusi Denpasar 12. Dari isu yang ia dengar, jika sistem pemilu diubah menjadi proporsional tertutup, maka MK akan memutuskan memberikan waktu bagi penyelenggara pemilu untuk mempersiapkannya selama tiga tahun.

"Ini sama saja dengan cerita menunda pemilu dengan menggunakan berbagai jalan salah satunya dengan mengubah sistem pemilu," ujar dia.

Dosen hukum Universitas Andalas tersebut mengatakan apabila hal itu benar, maka sama sekali tidak sehat bagi demokrasi serta melanggar prinsip konstitusional termasuk melanggar asas pemilu yang ada dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

"Tentu saja ini adalah upaya lain untuk mempertahankan kekuasaan," ucapnya.

Ia memastikan apabila hal tersebut terjadi dan berimbas pada penundaan pemilu maka secara jelas melanggar konstitusi dan membuka ruang penolakan dari masyarakat di Tanah Air. Dalam diskusi tersebut, ia turut menyinggung soal anggapan yang mengatakan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka potensial terjadinya praktik politik uang.

Kesimpulan atau anggapan tersebut dinilainya sumir karena menyederhanakan problematika pemilu. Sebab, pada dasarnya, hampir di semua sistem pemilu potensi politik uang tetap ada.

Menurut dia, problematika politik uang berada pada peserta dan penyelenggara pemilu itu sendiri. Sebab, apabila setiap peserta memiliki komitmen yang kuat dan bisa meyakinkan publik untuk memilihnya tanpa kekuatan uang maka diyakini politik uang tidak akan terjadi.

"Pemilu yang baik mestinya pemilih yang akan mengeluarkan uang untuk calon, tidak sebaliknya calon memberikan uang kepada pemilih," ucap dia.

Dalam diskusi yang sama, pakar politik, Philips J Vermonte juga menyoroti potensi perubahan sistem pemilu akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan uji materi pasal yang mengatur pemilihan legislatif (Pileg) menggunakan sistem proporsional terbuka. Menurut dia, perubahan sistem apa pun yang diputuskan MK nanti, seharusnya tidak diterapkan dalam Pemilu 2024.

Pasalnya, kata Philips, tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan. Apabila sistem baru dipaksakan diterapkan dalam Pemilu 2024, maka "risiko politiknya akan tinggi". Selain itu, perubahan sistem di tengah tahapan juga sarat kepentingan jangka pendek partai politik untuk memenangkan pemilu, bukan kepentingan untuk memperbaiki sistem itu sendiri.

Dia pun mengusulkan agar MK membuat sebuah klausul dalam putusannya. Yakni, menyatakan bahwa perubahan sistem diterapkan untuk pemilu berikutnya.

"Kalau memang DPR dan MK mau ubah sistem pemilu dengan semangat memperbaiki, bisa dibuat klausul bahwa perubahannya baru berlaku di Pemilu 2029 atau Pemilu 2034," ujar Philips.

Doktor ilmu politik lulusan Northern Illinois University, Amerika Serikat itu menambahkan, jika MK membuat klausul tersebut, maka dirinya meyakini pertimbangan MK dalam memutus perkara ini tidak didasarkan pada kepentingan politik jangka pendek. Dengan menunda penerapan hasil putusan, dia yakin MK melandaskan putusannya pada kepentingan jangka panjang seperti memperkuat aspek keterwakilan dan aspek kemampuan memerintah.

"(Dengan menunda penerapan putusan), kita bisa memastikan bahwa apa pun perubahan sistem pemilu yang kita ambil dilakukan bukan karena kepentingan politik hari ini, tetapi memang karena pertimbangan sistem apa yang baik dan dibutuhkan," kata Philips.

Terkait sistem apa yang sebaiknya digunakan di Indonesia, Philips sendiri beranggapan sistem proporsional tertutup adalah pilihan yang paling tepat. Kendati begitu, dia tidak mau terjebak dalam perdebatan hitam putih antara sistem proporsional terbuka dan proporsional tertutup.

MK dalam waktu dekat akan menjatuhkan putusan atas uji materi Pasal 168 UU Pemilu, yang mengatur pileg menggunakan sistem proporsional terbuka. Pada intinya, para penggugat meminta MK memutuskan pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. 

Sebagai ilustrasi, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih caleg yang diinginkan ataupun partainya. Caleg yang mendapat suara terbanyak bakal memenangkan kursi parlemen. Sistem ini diterapkan sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019. Pakar menilai kelemahan sistem ini adalah maraknya praktik politik uang.

Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Pemenang kursi anggota DPR ditentukan oleh partai lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999. Kelemahan sistem ini menurut pakar adalah memperkuat kuasa elite partai.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement