Rabu 18 Jan 2023 04:51 WIB

Asumsi Sistem Proporsional Tertutup dan Potensi Turunnya Partisipasi Pemilih

Pemilih dinilai sudah terbiasa mengikuti pileg dengan sistem proporsional terbuka.

Ilustrasi pemilihan umum (Pemilu)
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Ilustrasi pemilihan umum (Pemilu)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Febrianto Adi Saputro

Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang lanjutan gugatan uji materi atas ketentuan penggunaan sistem proporsional terbuka. Jika MK mengabulkan gugatan tersebut alias memutuskan pemilihan legislatif (Pileg) kembali menggunakan sistem proporsional tertutup, apakah partisipasi pemilih pada Pemilu 2024 bakal anjlok? 

Baca Juga

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah mengatakan, partisipasi pemilih berpotensi turun jika sistem proporsional tertutup alias pemilih hanya coblos partai diterapkan kembali. Sebab, pemilih sudah terbiasa mengikuti pileg dengan sistem proporsional terbuka di mana mereka bisa mencoblos caleg yang diinginkan. 

Kendati begitu, dia memperkirakan penurunannya tidak akan signifikan. Penurunan partisipasi pemilih hanya akan terjadi pada kalangan pemilih kritis. 

"(Sebab) pemilih kritis sudah terbiasa memilih calon anggota legislatif (Caleg) yang mereka nilai kompeten untuk duduk di parlemen," kata Hurriyah kepada Republika, dikutip Selasa (17/1/2023). 

Menurutnya, penurunan partisipasi pemilih kritis ini bakal diwujudkan dengan cara tidak memilih alias golput pada Pemilu 2024. Bisa juga mereka memanifestasikan kekecewaan atas sistem proporsional tertutup itu dengan melakukan protest vote atau mencoblos dengan cara yang salah. 

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih caleg yang diinginkan ataupun partainya. Caleg yang mendapat suara terbanyak bakal memenangkan kursi parlemen. Sistem ini diterapkan sejak Pemilu 2009, 2014, dan 2019. 

Sedangkan sistem proporsional tertutup, pemilih mencoblos partai. Pemenang kursi anggota DPR ditentukan oleh partai lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999. 

Sementara itu, peneliti senior di Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay menyebut penerapan kembali sistem proporsional memang berpotensi menurunkan partisipasi pemilih. Berdasarkan data dari pemilu sebelumnya, kata dia, pemilih lebih banyak mencoblos caleg dari pada partai. 

"Ketika berubah jadi sistem proporsional tertutup, tentu mereka akan kecewa. Kekecewaan itu bisa terwujud dengan tidak memilih. Jadi ada potensi menurunkan partisipasi pemilih," kata Hadar kepada Republika

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement