Senin 18 Jul 2022 04:20 WIB

Aturan Teknis Penjabat Jangan Jadi Celah Lumpuhkan Demokrasi

Pilkada punya legitimasi terhadap suara rakyat sesuai aspirasi negara demokrasi.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Agus raharjo
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Jenderal (Purn) Tito Karnavian melantik lima penjabat (pj) bupati dan satu wakil bupati di Papua secara hibrida di kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, pada Jumat (27/5/2022).
Foto: dok. Pusat Penerangan Kementerian Dalam Neger
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Jenderal (Purn) Tito Karnavian melantik lima penjabat (pj) bupati dan satu wakil bupati di Papua secara hibrida di kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, pada Jumat (27/5/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta--Peraturan mengenai penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah karena urgensi tertentu, sebenarnya telah tercantum dalam beberapa undang-undang. Namun hal ini dirasa kurang sesuai dengan Pj kepala daerah periode 2022-2024, sehingga MK membuat putusan untuk Kemendagri menggodok teknis Pj tersebut.

Akademisi Aditya Perdana mengatakan ada dilema dalam keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), yang akhirnya memutuskan untuk merumuskan teknis Pj kepala daerah. Di satu sisi, ini bisa menjadi pedoman dan kerangka penting, namun di sisi lain ini bisa menjadi celah menghapus demokrasi.

Baca Juga

“Dilemanya itu adalah, apakah misalkan kita ingin mencoba meng-exercise dengan konteks yang penunjukan kepala daerah ini, itu memuluskan satu situasi yang ternyata bisa lebih baik,” ujar Aditya dalam webinar ‘Aturan Penunjukan Pj Kepala Daerah: Bagaimana Harapan Publik?’, Ahad (17/7/2022).

Ia mengatakan, berdasarkan survei Litbang Kompas yang dirilis April 2022, 56 persen mengatakan tidak yakin kalau pemerintah sudah transparan terkait penunjukkan kepala daerah. Selain itu, 63 persen mengatakan sosok ASN harus ada yang tepat menjabat kepala daerah.

Lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menegaskan bahwa penjabat kepala daerah yang ditunjuk langsung, ini bisa berbeda dengan kepala daerah yang dipilih masyarakat. Dalam konteks itu, Aditya menduga pejabat-pejabat negara ini sedang mengetes satu sistem.

“Kalau ditunjuk kepala daerahnya, apakah itu bisa berpotensi jadi jauh lebih baik dalam urusan korupsi dan segala macam. Nah, ini yang menurut saya, satu sisi itu bisa benar adanya, tapi pada sisi lain itu sebenarnya bisa jadi ancaman untuk demokrasi kita,” papar dosen FISIP UI itu.

Ia menambahkan, karena jika ini ada kecenderungan untuk didorong arahnya agar semua pejabat kepala daerah lebih baik ditunjuk secara langsung, maka exercise terhadap demokrasi akan jadi lumpuh, terutama di daerah. Itu jadi tantangan juga ke depannya, untuk menegaskan hal ini.

Satu sisi, pilkada punya legitimasi terhadap suara rakyat, maka itu akan menjadi sangat kuat dan memang sesuai dengan aspirasi di sebuah negara demokrasi. Tapi ketika itu didorong lagi untuk mencoba situasi dimana kepala daerah ditunjuk langsung, akan banyak orang yang mempertanyakan.

“Saya berpandangan bahwa, kita ingin yang terbaik untuk demokrasi, kita tahu banyak problem terkait demokrasi kita. Tapi yang terbaik adalah bagaimana kita bisa menjaga keberlanjutan demokrasi, ini yang menurut saya perlu untuk dijaga,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement