Sabtu 13 Nov 2021 17:44 WIB

Membasuh Darah Jenderal Ahmad Yani dan Tumbal Negara

Jenderal Sarwo Edhie Wibowo kerap mengunjungi keluarga almarhum Jenderal Yani.

Wartawan senior Selamat Ginting bertemu anak Pahlawan Revolusi Jenderal Anumerta Ahmad Yani.
Foto:

Banyak yang tidak tahu bagaimana janda Ahmad Yani itu harus menerima kenyataan pahit. Bukan lagi menjadi istri pejabat negara, Panglima Angkatan Darat. Ia harus menghidupi keluarganya, karena pensiun janda jenderal bintang empat hanya menerima sekitar Rp 150 ribu, sejak akhir 1965.

"Anak-anakku…. Kalian bukan lagi anak Menteri Panglima Angkatan Darat. Kini kalian adalah anak pedagang sembako. Begitu kira-kira pesan ibuku," kata Ruli mengenang beratnya beban hidup keluarganya.

Setiap hari sejak Senin hingga Jumat dari pagi hingga malam hari, ibunya mesti masuk pasar keluar pasar. Banting tulang untuk membiayai hidup keluarganya. Termasuk membiayai sekolah anak-anaknya. Menjual semacam bahan sembilan pokok dan barang-barang lainnya. Termasuk jual beli tanah di kawasan Jakarta. Laba dari berdagang itu antara lain untuk menyekolahkan anak-anaknya.

Mereka tidak lagi menerima fasilitas sekelas menteri dan jenderal. Semua fasilitas negara ditarik, baik rumah maupun kendaraan. Hanya menyisakan satu ajudan untuk keselamatan ibundanya. Semua sisa-sisa harta dijual agar bisa membeli rumah yang berada persis di depan rumah tempat peristiwa terbunuhnya Jenderal Yani di Jalan Lembang, Menteng.

"Ibu sulit melupakan rumah di Jalan Lembang ini. Karena darah Bapak di lantai setelah ditembak pasukan Tjakrabirawa, langsung diusapkannya ke wajah dan tubuh ibu," ungkap Amel.

Hidup zig zag

Ruli menceritakan, mungkin dia yang paling tahu bagaimana penderitaan sebagai anak kolong (tentara). Sebagai anak pertama, ia merasakan bagaimana ayahnya harus pindah ke sana kemari karena panggilan tugas. Termasuk tiba-tiba harus meninggalkan rumah dinas serta kendaraan dinas saat ayahnya harus sekolah ke Amerika dan Inggris.

"Ibuku yang biasa naik mobil dinas sebagai istri komandan, tiba-tiba harus naik sepeda membonceng kami ke sekolah dan membawakan makanan bekal untuk anak-anak di sekolah saat di Tegal."

Begitulah pasang surut dan kehidupan zig zag begitu terasa. Tentunya yang utama kondisi setelah peristiwa G30S/PKI. Bagi Ruli dan adik-adiknya, paling menyakitkan dan tidak bisa dilupakan hingga saat ini adalah peristiwa dibunuhnya ayahanda.

Bagi keluarga besar, Jenderal Yani tentulah pahlawan luar biasa dengan segala plus minusnya sebagai manusia. Pahlawan revolusi itu mendapatkan tempat terhormat dalam panggung sejarah Indonesia. Peti jenazahnya di atas panser dikawal jenderal senior Letjen GPH Djatikusumo, yang merupakan KSAD pertama.

Hal ini menandakan penghormatan tertinggi TNI untuk segala bakti Yani Een en militair (seorang militer sampai ke tulang sumsumnya). Itulah pahlawan kusuma bangsa dari Jenar, Purworejo, Jawa Tengah. Jenderal yang memegang prinsip menolak Angkatan Kelima dan Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis), walau jabatan dan nyawa menjadi pertaruhannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement