Rabu 03 Nov 2021 06:56 WIB

Letjen Yani Tolak Gagasan Bung Karno Bentuk Angkatan Kelima

Amelia Yani kaget ternyata pembantu ayahnya anggota PKI, ikut pawai di Senayan.

Patung Pahlawan Revolusi di Monumen Kesaktian Pancasila, Jakarta Timur, yang menjadi korban keganasan PKI.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Patung Pahlawan Revolusi di Monumen Kesaktian Pancasila, Jakarta Timur, yang menjadi korban keganasan PKI.

REPUBLIKA.CO.ID, Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat meminta stafnya untuk mengkaji usulan Ketua Comite Central (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit. Aidit mengusulkan Angkatan Kelima di luar Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian.

Angkatan Kelima adalah buruh dan tani dipersenjatai untuk membantu ABRI dalam menghadapi ancaman Nekolim (Neo Kolonialisme) yang terus memperkuat tentaranya di Malaysia. Jenderal Yani menugaskan lima orang jenderal, yakni Mayor Jenderal (Mayjen) Siswondo Parman, Mayjen Soeprapto, Mayjen MT Haryono, Brigadir Jenderal (Brigjen) DI Panjaitan, dan Brigjen Soetoyo Siswomihardjo.

"Angkatan Kelima tidak perlu, oleh karena kita telah mempunyai pertahanan sipil (hansip) yang telah dan selalu bisa menampung semua kegiatan bela negara," begitulah hasil rumusan dari tim perumus yang terdiri dari lima jenderal yang bertugas di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) tersebut.

Baca: Telepon Misterius di Rumah Jenderal Yani Jelang Penculikan

Penolakan Jenderal Yani dan lima jenderal terhadap Angkatan Kelima harus dibayar mahal. Keenamnya bersama Jenderal Abdul Haris Nasution diisukan sebagai Dewan Jenderal yang anti-Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) dan tidak mendukung kebijakan Presiden Sukarno. Padahal Sukarno menyetujui pembentukan Angkatan Kelima tersebut.

Bahkan pada pidato Presiden Sukarno 17 Agustus 1965 yang ditulis Wakil Ketua CC PKI Nyoto, Bung Karno justru menyatakan, mempersenjatai massa buruh dan tani merupakan gagasan pribadinya. "Saya mengucapkan terima kasih atas semua dukungan yang diberikan kepada gagasan saya untuk mempersenjatai buruh dan tani," ujar Sukarno.

Kemudian Sukarno menambahkan, "Saya akan mengambil keputusan mengenai ini, dalam kapasitas saya selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata…" Entah keputusan apa yang dimaksud Sukarno tersebut.

Yani menyadari keputusan Angkatan Darat bertentangan langsung dengan Presiden Sukarno dan PKI. Tapi, ia meyakini bahwa inilah sikap Angkatan Darat. DN Aidit memang cemas, karena PKI tidak punya tentara, seperti di Republik Rakyat Cina (RRC). Padahal kata pemimpin partai komunis Cina, Mao Tse Tung, kekuasaan itu lahir dari ujung bedil.

Karena itulah, PKI merasa perlu mempersenjatai buruh dan tani. Jumlahnya sekitar 15 ribu orang dengan rincian buruh 5.000 dan tani 10 ribu orang. Yani kecewa, karena Sukarno terpengaruh bahkan sangat mesra dengan komunis.

Baca: Media Inggris: Tujuh Jenderal TNI Dibunuh Militer Agen PKI

Angkatan Darat mencatat, PKI sejak Mei 1965 terlihat begitu intensif melakukan aksi massa sepihak yang dibungkus dengan pelaksanaan landreform. Misalnya di Mantingan Jawa Timur, massa komunis yang dipelopori anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) berusaha mengambil paksa tanah wakaf milik Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo. Terjadi konflik massa para santri melawan BTI serta massa PKI.

Yani juga sangat marah, ketika PKI mengeroyok dan mencincang Pembantu Letnan Dua (Pelda) Sujono di Bandar Betsy, Simalungun, Sumatra Utara. Aidit berkelit bahwa tindakan PKI di Bandar Betsy sebagai tindakan revolusioner sebagai awal dari pelaksanaan tuntutan land reform untuk memenuhi komando Presiden Sukarno.

"Kami diminta Bapak mencari koran yang memberitakan kasus Pelda Sujono tewas dibantai PKI di Bandar Betsy, Sumatra Utara," kata Amelia Yani, putri ketiga dari Jenderal Achmad Yani dalam perbincangan dengan Selamat Ginting yang ditayangkan channel youtube SGinting Offcial akhir Oktober 2021 lalu.

Bagaikan Ibu Kota Komunis

Peristiwa di Bandar Betsy pada 14 Mei 1965 dianggap angin lalu oleh PKI. Sepanjang Mei 1965, PKI justru gencar melempar isu Dewan Jenderal sebagai jenderal-jenderal yang akan menggulingkan Presiden Sukarno. Mereka terus memaksakan Angkatan Kelima. Dalam merayakan ulang tahun PKI tahun 1965, kaum komunis merayakannya besar-besaran.

Tamu-tamu berdatangan dari negara-negara komunis, seperti RRC, Albania, Korea Utara, Vietnam Utara, dan Partai Komunis dari Uni Soviet. Jakarta saat itu seperti ibu kota negara komunis. Gambar Sukarno, DN Aidit, Lenin, dan Karl Marx, Engels, Stalin dipajang di sejumlah jalan utama Ibu Kota.

"Kami terkejut, ternyata pembantu rumah kami adalah simpatisan PKI. Dia membawa bendera palu arit dan ikut dalam pawai di Gelora Senayan. Belakangan kami baru menyadari, jangan-jangan dia PKI yang memantau aktivitas Pak Yani di rumah. Sebab setelah peristiwa pembunuhan terhadap bapak, pembantu itu menghilang," ujar Amelia Yani.

Pawai besar-besaran membuat Jakarta dan seluruh Pulau Jawa menjadi merah oleh bendera palu arit. Presiden Sukarno menyambut gembira dengan suasana gemuruh di Stadion Gelora Senayan, Jakarta. Menggunakan pakaian Panglima Tertinggi lengkap dengan pita tanda jasa, brevet, dan tongkat komandonya.

Sukarno memeluk Ketua CC PKI DN Aidit dengan mesra. Disambut ratusan ribu massa, seperti menggoyang Stadion Senayan. "Apa sebab PKI bisa jadi demikian besar? Oleh karena PKI konsekuen progresif revolusioner. Aku berkata, PKI yo sanakku, ya kadang-ku, yen mati aku melu kelangan," kata Bung Karno bersemangat.

PKI pada 1965 beranggotakan tiga juta orang, Pemuda Rakyat (sayap pemuda PKI) tiga juta orang, dan simpatisan 20 juta orang. Selain memuji PKI, Sukarno kembali menegaskan sikapnya mengenai Nasakom, seperti tahun 1926. Awalnya Sukarno menggunakan istilah Nasionalis, Islam, Marxis. Kemudian diubah menjadi Nasionalis, Agama, dan Marxis (Nasamarx). Akhirnya menjadi Nasakom.

Ide yang ditentang mantan Wakil Presiden Moh Hatta, Jenderal AH Nasution, dan Letjen Yani selaku pimpinan ABRI. Pujian terhadap PKI kemudian diimplementasikan Sukarno dengan memberikan Bintang Mahaputra untuk DN Aidit pada 17 Agustus 1965. PKI semakin mendapatkan angin menjadi anak emas Presiden Sukarno. Dua pekan setelah itu, massa PKI melakukan demonstrasi besar-besaran di Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Inggris di Jakarta.

Bahkan masa menerobos dan membakar Kedutaan Besar Inggris. Menghadapi massa yang tidak terkendali, Angkatan Darat menyelamatkan sejumlah diplomat Inggris dari amukan massa yang beringas. "Terima kasih dari saya seorang Nekolim (Neo Kolonialisme)," begitulah karangan bunga yang dikirimkan Duta Besar Inggris di Jakarta Andrew Graham Gilsrist.

"Karangan bunga itu diberikan, karena personel Angkatan Darat menyelamatkan para diplomat dari amukan massa dan api yang membakar Kedutaan Inggris. Tapi kemudian dijadikan isu oleh PKI bahwa Jenderal Yani sebagai antek Inggris. Sekaligus menjadi dasar dibuatnya Dokumen Gilchrist yang berbunyi our local army friends oleh Biro Khusus PKI yang dipimpin Syam Kamaruzaman," kata Amelia Yani.

Jenderal Yani memang pernah bersekolah militer di Inggris pada 1955. Tentu saja dikirim oleh negara untuk memperdalam ilmu militer. Namun di depan Sukarno, Yani membantah sebagai antek Amerika Serikat maupun Inggris.

"Antikomunis bukan berarti menjadi antek Amerika dan Inggris. Negara yang menyekolahkan saya ke Amerika dan Inggris. Bukan maunya saya sebagai tentara harus sekolah di mana," kata Amelia Yani menirukan ucapan ayahandanya yang ditulis dalam buku catatan harian Yani.  

Hubungan dengan Sukarno

Yani yang semula akrab dengan Sukarno, lama-lama akhirnya berpisah jalan. Ia menolak ide Nasakom, karena sudah ada ideologi negara, Pancasila. Sebagai personel TNI, ia telah disumpah untuk menjunjung ideologi Pancasila. Bukan ideologi lain. Ia juga menolak ide Angkatan Kelima yang digagas PKI dan Bung Karno.

Seperti diungkap di atas, tim Yani di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) sudah mengkaji masalah Nasakom dan Angkatan Kelima. Hasilnya menolak dua hal tersebut. Kelima jenderal dalam tim tersebut bersama dengan Letjen Yani dan Jenderal AH Nasution akhirnya harus menelan pil pahit, masuk dalam daftar penculikan dan akhirnya dibunuh pada 1 Oktober 1965. Hanya Jenderal Nasution yang selamat.

Amelia Yani juga menceritakan bahwa hubungan keluarganya dengan keluarga Sukarno tergolong baik dan akrab. Bahkan Yani dan istri kerap membantu Ibu Negara Fatmawati yang keluar dari Istana, karena kecewa Sukarno kawin lagi.

"Ibu saya suka membantu Bu Fatmawati yang tinggal di rumah kecil menyendiri, tidak lagi di Jalan Sriwijaya. Bapak juga beberapa kali meminta ajudan Mayor Subardi mengirimkan makanan dan bantuan lain untuk Bu Fatmawati," ujar Amelia.

Setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap Jenderal Yani, lanjut Amelia, istri-istri Bung Karno juga mengunjungi rumah keluarga Yani di Jalan Lembang. Terutama Hartini dan Dewi. Bahkan Dewi yang berasal dari Jepang, hampir tiap hari menghibur istri Jenderal Yani.

"Bu Dewi tentu saja ke sini atas perintah Presiden Sukarno sekaligus menawarkan agar Ibu kami bersedia mengelola Sarinah Jaya. Tapi ibu menolak, karena sudah terlanjut kecewa dengan sikap Presiden Sukarno."

Nyawa tidak bisa ditukar dengan harta. Yayuk Ruliah Sutodiwiryo kehilangan respek kepada Presiden Sukarno setelah kematian suaminya yang tragis. Padahal sebelumnya, ia merasa senang sekali tatkala Bung Karno hadir dalam acara syukuran rumah baru keluarga Yani di Jalan Suropati, Menteng.

Namun rumah tersebut hanya dihuni selama satu tahun. Yayuk juga kerap menampung curahan hati Fatmawati, istri ketiga Presiden Sukarno. "Setelah Bapak gugur, Ibu tidak mau lagi bicarakan tentang Bung Karno, sudah terlanjur kecewa," ujar Amelia dengan rasa sedih.

Ungkapan-ungkapan Amelia Yani dapat disaksikan dalam channel youtube SGinting Official.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement