Selasa 02 Nov 2021 08:37 WIB

Telepon Misterius di Rumah Jenderal Yani Jelang Penculikan

Letjen Ahmad Yani geram Sukarno lebih percaya PKI yang memfitnah pimpinan TNI AD.

Buku agenda dan catatan harian Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani sebelum dibunuh terkait G30S/PKI.
Foto: Dok Selamat Ginting
Buku agenda dan catatan harian Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani sebelum dibunuh terkait G30S/PKI.

REPUBLIKA.CO.ID, Pada Kamis malam, 30 September 1965. Kolonel Soegandhi Kartosoebroto, bekas ajudan senior Presiden Sukarno mendatangi rumah Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal (Letjen) TNI Ahmad Yani di Jalan Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat.

Ia bermaksud memberitahukan kepada Jenderal Yani bahwa Presiden Sukarno marah-marah di Istana. "Apa itu Dewan Jenderal?! Apa itu Dewan Jenderal?!" kata Kolonel Sugandhi menirukan ucapan Sukarno yang sedang marah.

Kolonel Soegandhi, anggota DPR Gotong Royong menceritakan hal tersebut kepada Mayor CPM (Corps Polisi Militer) Subardi, ajudan dari Letjen Ahmad Yani, di rumah dinas Panglima Angkatan Darat.

Baca: Jozeph Paul Zhang Pertanyakan Jahatnya PKI di Mana?

Soegandhi urung melaporkan langsung kepada Jenderal Yani. Ia menyampaikan hal tersebut kepada Mayor Subardi untuk disampaikan kepada orang nomor satu di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Alasannya, masih ada tamu di kediaman Jenderal Yani.

Mengenai Dewan Jenderal, Jenderal Yani sesungguhnya sudah menjelaskan kepada Presiden Sukarno. Yani dalam buku agendanya menyebutkan, Presiden Sukarno terpengaruh oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mengembuskan isu Dewan Jenderal, yang ingin melakukan kudeta terhadap Presiden pada 5 Oktober 1965. Tepat saat hari ulang tahun (HUT) TNI.

"Isu Dewan Jenderal, jenderal-jenderal Pentagon berkulit sawo matang, serta Dokumen Gilshrist tentang Our Local Army Friend dibuat oleh PKI untuk menyudutkan saya," kata Yani dalam tulisan di agendanya.

Yani memang lulusan sekolah militer di Amerika Serikat (AS) dan Inggris saat berpangkat Letnan Kolonel senior. Ia mengikuti Pendidikan di US Army Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, AS. Kemudian melanjutkan pendidikan di Warfare Training di Inggris pada 1955.

Mengenai isu-isu miring terhadap dirinya, Jenderal Yani mengirimkan surat kepada Presiden Sukarno. Dia berusaha menjelaskan tentang fitnah yang dilancarkan PKI kepada pimpinan TNI AD.

"Isunya diputarbalikkan, seakan-akan kami (karena disekolahkan oleh negara ke Amerika) pro-Amerika, mata-mata Amerika dan akan menyingkirkan Presiden. Beberapa kali info tersebut disampaikan (PKI) pada Bapak Presiden bahwa AD (Angkatan Darat) akan coup, akan ini dan itu," ujar Yani dalam suratnya yang dikirimkan kepada Sukarno.

"Lama-lama kalau Bapak (Presiden RI) mendengar soal ini juga mulai percaya (PKI). Anti-PKI tidak berarti otomatis pro-Amerika, sebaliknya anti-Barat otomatis pro-Timur," kata Yani melanjutkan.

Padahal, kata Yani, bukti-bukti ketaatan TNI sudah cukup diberikan terhadap setiap penyelewengan dari tujuan nasional, dari mana pun datangnya telah dan akan dihadapi. Semua pemberontakan dan pergolakan di Tanah Air ditumpas oleh TNI atas nama negara.

Dewan Jenderal yang dimaksud sesungguhnya adalah rapat para jenderal senior untuk menentukan sejumlah Kolonel yang akan dipromosikan menjadi Brigadir Jenderal (Brigjen). Sejak berpangkat Brigjen, Yani menjadi sekretaris Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Rapat biasanya dipimpin Letjen Gatot Subroto dan Mayor Jenderal (Mayjen) GPH Djatikusumo.

Baca juga : Ikan Busuk Mulai dari Kepala, Para Kapolres Pun Dicopot

Nasakom dan Angkatan Kelima

Kembali soal kedatangan Kolonel Soegandhi. Ia tidak bisa masuk rumah Yani, karena Panglima Angkatan Darat masih menerima tamu hingga pukul 22.00 WIB. Sehingga, Soegandhi menyampaikan pesan tersebut kepada ajudan Yani.

Tamu istimewa Yani malam itu adalah Panglima Kodam Brawijaya, Mayjen TNI Basuki Rachmat. Basuki melaporkan kepada Yani bahwa aktivis Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dari PKI melakukan perusakan kantor Gubernur Jawa Timur (Jatim).

Malam itu, Jenderal Yani sekalian mengajak Jenderal Basuki Rachmat untuk ikut menghadap Presiden Sukarno pada Jumat pagi, 1 Oktober 1965 tentang situasi di Jatim tersebut.

Yani juga sudah memberitahukan kepada ajudan bahwa Jumat pagi akan menghadap Sukarno. Sekaligus memberitahukan kepada istrinya bahwa kemungkinan hari itu juga akan dicopot dari jabatan sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat.

"Bapak sudah memberitahukan kepada Ibu bahwa akan diganti oleh Mayor Jenderal TNI Moersid," kata Amelia Yani, putri ketiga dari delapan bersaudara, anak kandung dari pasangan Jenderal Yani dengan Yayuk Ruliyah Sutodiwiryo. Keluarga mengetahui hal tersebut dari Mayor Subardi.

Ketidakcocokan dengan Presiden Sukarno mengenai konsep Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) dan sikap keras Yani menolak Angkatan Kelima, menjadi sinyal retaknya hubungan Yani dengan Sukarno. Angkatan Kelima yang digagas PKI dan kemudian mendapatkan dukungan dari Presiden Sukarno ditentang keras oleh Angkatan Darat.

Angkatan Kelima adalah mereka yang akan dipersenjatai di luar dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Angkatan Kelima yang diminta PKI dengan tujuan agar buruh dan tani turut dipersenjatai untuk membantu perjuangan Indonesia dalam melawan Inggris yang mendirikan negara Federasi Malaysia.

Jumlahnya sekitar 15 ribu orang, terdiri dari 5.000 buruh dan 10 ribu tani. Namun, gagasan itu ditolak keras TNI AD.

Peringatan MT Haryono

Jenderal Yani marah besar ketika anak buahnya Pembantu Letnan Dua (Pelda) Sujono di Bandar Betsy, Simalungun, Sumatra Utara, tewas. Sujono gugur pada 14 Mei 1965 setelah kepalanya dicangkul oleh aktivis tiga organisasi sayap PKI, yaitu BTI (Barisan Tani Indonesia), PR (Pemuda Rakyat), dan Gerwani.  

Sepekan setelah peristiwa Bandar Betsy tersebut, Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal TNI MT Haryono menyarankan kepada Yani untuk bertindak terhadap PKI. "Kalau (Panglima Angkatan Darat) tidak mulai mengambil tindakan (terhadap PKI), tak pelak Anda akan dibunuh mereka," kata Mayjen Haryono kepada Letjen Yani pada 20 Mei 1965.  

Malam semakin larut. Mayjen Basuki Rahmat pun pamit sambil memberikan hormat militer. Yani langsung menuju kamar tidurnya untuk istirahat. Mempersiapkan diri menerima keputusan untuk diganti oleh Mayjen Moersjid, Deputi I Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Saat Yani tidur, malam itu, dua kali telepon di rumahnya berdering. Setelah diangkat oleh putri keduanya, Emi Yani, di ujung telepon menanyakan "Bapak ada di rumah?" Tidak merasa curiga, sang putri menjawab, "Bapak ada di rumah sudah tidur".

Pada malam Jumat itu, jelang pergantian hari, telepon dari orang tidak dikenal, kembali berdering. Lagi-lagi menanyakan posisi Jenderal Yani. "Bapak ada di rumah?" Kembali dijawab oleh Emi Yani, "Bapak ada di rumah sedang tidur." 

Kisah-kisah di malam kelam itu diceritakan Amelia Yani, putri ketiga dari pahlawan revolusi Jenderal Achmad Yani, kepada wartawan senior Selamat Ginting di kediaman Jenderal Yani, Jalan Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat pada 28 Oktober 2021. Rumah ketika Jenderal Yani diculik dan dibunuh oleh Pasukan Gerakan 30 September (G-30-S) yang dibantu Pemuda Rakyat, organisasi sayap PKI.

Setelah wafat, Letjen Yani pun pangkatnya dinaikkan menjadi Jenderal Anumerta dan ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi.

Bagaimana kisah selegkapnya? Ikuti wawancara Selamat Ginting dengan Amelia Yani dalam channel Youtube SGinting Official.

Baca juga : KH Said Aqil Siroj Masuk 50 Muslim Dunia Berpengaruh

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement