REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Febrianto Adi Saputro
Setelah melalui polemik dan kegaduhan pada awal tahun lalu, Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ternyata masih diusulkan DPR masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Saat ini, RUU tersebut masih menunggu surat dari presiden.
Dalam daftar usulan RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021, RUU HIP berada di nomor 14 yang merupakan luncuran dari Prolegnas Prioritas tahun sebelumnya. RUU tersebut diusulkan oleh Baleg DPR.
Pada Rapat Panitia Kerja Penyusunan Prolegnas Prioritas 2021, Selasa (24/11), empat fraksi di DPR menolak RUU HIP masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021. Keempatnya, yakni Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi Partai Golkar Firman Soebagyo mengatakan, pihaknya menolak RUU HIP karena banyak kelompok masyarakat yang kontra. Apalagi, situasi dalam negeri saat ini disebutnya tengah panas, setelah kepulangan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab.
“Pulangnya Habib Rizieq masih menimbulkan pro dan kontra bahkan sekarang ini sudah ramai sampai tingkat daerah yang mendukung dan yang kontra,” ujar Firman, Selasa (24/11).
Sementara itu, anggota Baleg Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Zainudin Maliki menilai, RUU HIP kini bolanya berada di pemerintah. Sedangkan, pernyataan pemerintah terkait RUU ini dinilainya masih belum jelas.
Apalagi, RUU HIP ini menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Sehingga dibutuhkan kebijaksanaan dari pemerintah dalam memutuskan kelanjutan RUU ini.
“Bolanya sudah ada di pemerintah, tentu kita berharap pemerintah merespons hal ini dengan wisdom. Karena munculnya RUU ini telah menimbulkan kegaduhan dan kita tidak ingin RUU ini menimbulkan kegaduhan baru,” ujar Zainudin.
Anggota Baleg Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ledia Hanifa Amaliah menyoal posisi RUU tersebut saat ini. Sebab, pemerintah sudah menyatakan menolak RUU HIP dan menggantikannya dengan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
“Ketua DPR dan Pak Azis Syamsuddin menyatakan bahwa bahasan tentang RUU HIP dihentikan. Sehingga kalau sudah demikian posisinya bagaimana, masa kita masih akan terus melanjutkan gitu,” ujar Ledia.
Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya mengatakan, RUU HIP masih ada dalam daftar karena RUU tersebut masih menunggu surat presiden (surpres). “Prolegnas Prioritas harus mempertimbangkan satu, RUU yang diusulkan DPR. Dua, RUU yang sedang menunggu surpres, tiga RUU dalam tahapan harmonisasi, dan keempat RUU dalam tahap penyusunan,” ujarnya.
Mayoritas anggota Bale) DPR mengusulkan agar RUU HIP tak dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2021. Banyaknya penolakan dari berbagai elemen masyarakat menjadi alasan.
“Kita jangan terlalu banyak membahas tentang hal-hal yang sensitif yang dulu menimbulkan sedikit keributan di media dan masyarakat tentang hal ini (RUU HIP),” ujar anggota Baleg DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Wahid, pekan lalu.
Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani menerima konsep Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) dari pemerintah. Setelah pertemuan dengan Menteri Koordinator, Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, ia mengatakan bahwa RUU tersebut berbeda dengan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
Namun, anggota Baleg Fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS) Anis Byarwati menilai, RUU HIP dan RUU BPIP adalah dua produk hukum yang berbeda. Baik dari sisi substansi maupun sisi statusnya. “Pemerintah dan DPR tidak bisa menukar kedua RUU tersebut begitu saja,” ujar Anis.
Ia menjelaskan, pengusulan RUU harus melalui mekanisme yang sesuai. Pasalnya, hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Tidak bisa langsung mengusulkan draf RUU baru sebagai pengganti RUU inisiatif DPR. DPR dan Pemerintah harus menghormati ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada,” ujar Anis.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri merekomendasikan agar DPR tidak memasukan usulan RUU yang berisiko terhadap resistensi publik dan belum ada konsensus di internal DPR ke dalam Prolegnas) 2021. Ia menyarankan, agar RUU yang dinilai belum terlalu urgen untuk di-drop mengingat situasi pandemi saat ini masih terjadi.
"Kita bisa ambil contoh misalnya seperti RUU Ketahanan Keluarga, RUU Larangan Minuman Beralkohol," kata Ronald dalam diskusi secara virtual, Selasa (24/11).
Ia pun membandingkan dengan RUU Perubahan Undang-Undang Wabah, dan RUU Penanggulangan Bencana yang dinilai lebih relevan dan urgen dengan kondisi saat ini. Ronald juga meminta agar DPR mengidentifikasi RUU yang dianggap menopang secara langsung terhadap kebijakan penanggulangan pandemi.
"Usulan ini harus disertai dengan identifikasi atau evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang dalam kondisi sebaliknya yaitu menghambat upaya untuk menuntaskan adanya pandemi atau mengurangi dampak pandemi," ujarnya.
Selain itu, Ronald juga menyarankan agar DPR mengutamakan RUU yang terkait penguatan demokrasi. Terutama terkait hak asasi manusia dan penegakan hukum.
Dia menjelaskan untuk hak-hak berpolitik lembaga demokrasi mengalami peningkatan, tapi untuk kebebasan sipil mengalami penurunan. Oleh karena itu ia menilai perlu upaya menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap aktualisasi kebebasan sipil.
"Misalkan salah satunya adalah mendorong lahirnya Undang-undang perkumpulan," ujarnya.