Ahad 13 Sep 2020 10:52 WIB

AMSI Desak Polisi Usut Doxing Jurnalis Liputan6.com

Doxing adalah bentuk intimidasi dan upaya menghalang-halangi jurnalis bekerja.

Rep: Febryan. A/ Red: Indira Rezkisari
Kerja-kerja jurnalistik diatur Undang-Undang Pers No.40 tahun 1999, Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Media Siber. Perilaku doxing adalah bentuk kekerasan kepada jurnalis dan jurnalisme..
Foto: Pixabay
Kerja-kerja jurnalistik diatur Undang-Undang Pers No.40 tahun 1999, Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Media Siber. Perilaku doxing adalah bentuk kekerasan kepada jurnalis dan jurnalisme..

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mendesak Kepolisian Republik Indonesia segera mengusut tindakan teror melalui doxing yang dialami jurnalis Liputan6com, Cakrayuni Nuralam. Korban mengalami serangan di media sosial maupun di kehidupan nyata akibat pemberitaannya.

"AMSI menuntut polisi bergerak cepat mengusut kasus ini. AMSI mendukung tindakan manajemen Liputan6com untuk melaporkan peristiwa teror ini ke aparatur penegak hukum," kata Ketua Umum AMSI Wenseslaus Manggut dalam siaran persnya, Ahad (13/9).

Baca Juga

Wenseslaus menjelaskan, doxing adalah pelacakan dan pembongkaran identitas seseorang, lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan negatif. Tindakan ini bisa dikategorikan sebagai bentuk intimidasi dan upaya menghalang-halangi jurnalis menjalankan pekerjaannya.

Tindakan menghalang-halangi jurnalis dalam menjalankan profesinya bisa dijerat dengan pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Pasal ini memuat ketentuan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana dengan ancaman paling lama dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Selain mengecam keras teror dan intimidasi terhadap jurnalis melalui doxing, AMSI juga meminta pihak yang berkeberatan dengan isi artikel yang dibuat jurnalis untuk menempuh mekanisme yang berlaku. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur bahwa pihak yang berkeberatan bisa memberikan hak jawab atau mengadu ke Dewan Pers.

AMSI turut meminta perusahaan pengelola platform media sosial untuk meningkatkan pengawasannya atas konten berbahaya seperti teror dan doxing semacam ini. "Pelanggaran hukum semacam itu tak pantas diberi ruang di media sosial. Pengelola perusahaan media sosial harus aktif menghapus posting-posting teror, intimidatif, dan hasutan untuk berbuat kekerasan seperti itu," ujarnya.

Cakrayuni mengalami doxing secara masif sejak 11 September 2020. Para pelaku doxing mempublikasikan data pribadi korban seperti foto, alamat rumah, nomor telepon, hingga identitas keluarga.

Para pelaku juga membuat narasi yang mengajak orang untuk melakukan tindak kekerasan terhadap korban. "Sejak saat itu, akun media sosial korban diserang oleh berbagai macam komentar yang mengintimidasi. Rumah korban juga mulai dipantau oleh beberapa orang yang tidak dikenal," ucap Wenseslaus.

Teror ini bermula saat Cakrayuni menulis sebuah artikel di kanal Cek Fakta Liputan6com tentang verifikasi klaim yang menyebut politikus PDI Perjuangan, Arteria Dahlan, adalah cucu dari pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sumatra Barat, Bachtaroeddin.

Artikel tersebut terbit pada 10 September 2020. Keesokan harinya, sekitar pukul 18.20 WIB, akun Instagram @d34th.5kull mengunggah foto korban dengan narasi yang mengintimidasi. Disusul kemudian oleh akun Instagram cyb3rw0lff_, cyb3rw0lff99.tm, _j4ck5on, dan __bit_chyd__. Malamnya, sekitar pukul 21.03 WIB, akun @d34th.5kull mengunggah sebuah video provokatif dengan narasi teror pada Cakrayuni yang disebarkan akun i.b.a.n.e.m.a.r.k.o.b.a.n.e dan bit__chyd_.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement