Jumat 10 Jul 2020 23:04 WIB

Menristek Sebut Produksi Rapid Test Lokal Masih Terbatas

Industri belum bisa mengukur risiko jika memproduksi alat rapid test skala besar.

Petugas medis menunjukkan alat tes cepat (rapid test) COVID-19 buatan dalam negeri di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Kamis (9/7/2020). Pemerintah meluncurkan alat tes cepat COVID-19 yang diberi nama RI-GHA Covid-19 dan menargetkan dapat diproduksi sebanyak 200 ribu rapid pada Juli dan 400 ribu di Agustus 2020. ANTARA FOTO/Arnold/wpa/aww.
Foto: ANTARA FOTO
Petugas medis menunjukkan alat tes cepat (rapid test) COVID-19 buatan dalam negeri di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Kamis (9/7/2020). Pemerintah meluncurkan alat tes cepat COVID-19 yang diberi nama RI-GHA Covid-19 dan menargetkan dapat diproduksi sebanyak 200 ribu rapid pada Juli dan 400 ribu di Agustus 2020. ANTARA FOTO/Arnold/wpa/aww.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/ Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro mengatakan  kapasitas industri lokal masih terbatas dalam memproduksi rapid test. Menurut dia, tidak mudah juga mencari mitra industri yang mau mengembangkan rapid test skala besar.

"Karena mereka harus melakukan investasi baru, dan ini adalah suatu tahapan produksi yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan," katanya, Jumat (10/7).

Baca Juga

Ia mengemukakan bahwa permintaan alat tes diagnostik cepat untuk mendeteksi penularan virus corona penyebab COVID-19 saat ini sangat besar. Namun industri dalam negeri yang belum siap memproduksinya dalam skala besar.

"Industri yang ada masih maju mundur karena masih belum bisa menakar risiko kalau mereka benar-benar masuk ke (produksi alat) rapid test yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan," katanya.

Kementerian Riset dan Teknologi, menurut dia, berupaya menjalin komunikasi dengan industri untuk memastikan hilirisasi produk inovasi atau hasil riset karya anak bangsa berjalan mulus. "Paling tidak kalau memang bidangnya baru kita ingin dari awal apakah BUMN atau Kementerian Perindustrian bisa membantu kita mencarikan siapa kira-kira mitra yang mampu untuk bekerja sama dengan peneliti," katanya.

Menurut dia, riset tahap I Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 masih menghadapi tantangan hilirisasi. Penyebabnya adalah kebanyakan mitra industri dalam negeri belum berpengalaman dalam bidang usaha alat kesehatan.

"Di tahap itu masih ada PR (pekerjaan rumah) sangat besar yaitu mengenai hilirisasi," katanya.

Bambang mengatakan, selama ini pemenuhan kebutuhan alat kesehatan di Indonesia masih sangat bergantung pada impor. Proporsi impor alat kesehatan masih 90 persen lebih.

"Kita tahu Indonesia sangat bergantung pada impor alke s(alat kesehatan) 90 persen lebih sehingga wajar sekali kalau ada industri alkes pun itu skala kecil, kalau mencari skala besar belum ada," katanya.

Dari pendanaan penelitian Tahap I Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19, 57 produk inovasi atau hasil riset sudah diluncurkan pada 20 Mei 2020. Sebagian sudah produksi dalam jumlah besar oleh industri.

Bambang mengemukakan pentingnya sinergi dan kolaborasi dalam hilirisasi hasil riset dan inovasi dalam negeri. Dalam hal ini, pemerintah akan memfasilitasi komunikasi antarpihak, termasuk antara peneliti dengan mitra industri.

"Kita ingin makin melihat kolaborasi antar bidang, antar universitas, dan antara universitas dan lembaga," katanya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement