Rabu 19 Nov 2025 09:05 WIB

Pak AR Fachruddin dan Rumah di Surga

Hingga akhir hayatnya, ketum Muhammadiyah terlama ini tak pernah punya rumah.

Ketua Umum PP Muhammadiyah 1968-1990 AR Fachruddin (ketiga dari kiri) tampak berbincang dengan presiden RI saat itu, Soeharto (kedua dari kiri) di Istana Negara, Jakarta.
Foto: Majleis Tabligh Muhammadiyah
Ketua Umum PP Muhammadiyah 1968-1990 AR Fachruddin (ketiga dari kiri) tampak berbincang dengan presiden RI saat itu, Soeharto (kedua dari kiri) di Istana Negara, Jakarta.

Oleh: Syaefudin Simon*)

Di balik pria terhormat, ada wanita terhormat. Di balik pria saleh, ada wanita saleh. Di balik pria zuhud, ada wanita zuhud.

Baca Juga

Bayangkan, seandainya Pak AR punya istri wanita seleb, niscaya Pak AR akan pusing tujuh keliling. Sebab, permintaan istrinya pasti macam-macam.

Ingin tas LV, dompet Hermes, sepatu Gucci, busana-busana branded model mutakhir, dan rumah real estate. Kebayang Pak AR akan pusing memikirkan keinginan istrinya.

Karena pusing, Pak AR pun tidak akan tenang. Hidupnya kemrungsung dan sulit tidur.

Mana mungkin Pak AR yang hidup hanya dari gaji pegawai negeri sipil (PNS) dengan tujuh anak mau memenuhi keinginan istrinya yang seleb itu?

Beruntung. Hal itu tak terjadi pada Pak AR.

Allah sudah memasangkan Pak AR dengan wanita yang hebat, Siti Qomariyah. Bu AR---panggilan akrab Ibu Siti Qomariyah---adalah wanita yang mau hidup sangat sederhana, asal suaminya memberi nafkah yang halal.

Bahkan, bila nafkah dari Pak AR tidak mencukupi, Bu AR pun siap membantu mengatasinya dengan berdagang apa saja yang bisa dilakukannya. Seperti, dagang ikan di pasar, dagang hasil bumi, dan lain-lain untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya.

Bu AR tidak pernah mengeluh apa pun yang dibawa Pak AR ke rumah untuk nafkah keluarganya. Bahkan, ketika Pak AR pulang tak membawa apa pun, Bu AR tetap menyambutnya penuh rasa syukur karena Pak AR selamat dalam perjalanan hingga sampai ke rumah.

Bu AR selalu mendukung kegiatan dakwah Pak AR meski tak menghasilkan uang. Bu AR pun mendukung prinsip dakwah yang dilakukan Pak AR yang motivasinya karena Allah semata.

“Dakwah harus ikhlas dan tidak boleh menerima amplop,” kata Pak AR.

photo
KH AR Fachruddin - (istimewa)

Jika mau menerima amplop, takut menjadi kebiasaan, dan akhirnya mempengaruhi niat dakwah. Dan, itu sangat berbahaya bagi seorang dai yang berniat menyebarkan pesan-pesan Allah dengan ikhlas.

Itulah sebabnya, meski laris diundang ceramah, Pak AR tetap miskin.

Sebab, ceramahnya tak menghasilkan uang. Jangankan beli sedan Lamborghini atau Jeep Rubicon seperti penceramah seleb di Jakarta. Beli sepeda motor pun, Pak AR tak mampu.

Beliau hanya hidup dari gaji pensiunan PNS. Jika beliau dipaksa menerima amplop dan kemudian mau menerimanya (karena tidak enak pada panitia), sesampainya di rumah amplop itu langsung diberikan kepada kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.

Pak AR minta agar uang dari amplop itu dibagikan kepada karyawan-krayawan kecil di kantor PP yang hidupnya kekurangan.

Kami, anak-anak Asrama Yasma Putra, Masjid Syuhada, Yogya, juga pernah kebagian amplop Pak AR.

Suatu ketika Pak AR diundang ceramah di TVRI Yogya. Kami mengantarkan Pak AR ke stasiun TVRI Yogya di Jalan Magelang.

Usai ceramah, Pak AR menerima bingkisan dan amplop. Dalam perjalanan pulang, bingkisan dan amplop itu diberikan kepada kami, anak-anak asrama Yasma. Pak AR tak menyisakan uang itu sedikit pun untuk dibawa pulang ke rumahnya.

Jika akan berdakwah di tempat yang memakan waktu lebih dari satu hari, Pak AR selalu memanggil Bu Qom dan anak-anaknya.

“Bapak mau pergi berdakwah di tempat yang jauh. Mungkin tiga hari tidak pulang. Bapak sudah menitipkan kalian kepada Allah. Insya Allah, Yang Maha Kuasa akan menjaga Ibu dan anak-anak,” pesan Pak AR setiap mau bepergian berdakwah untuk waktu yang lama.

Peristiwa seperti itu, pergi berdakwah berhari-hari, sudah biasa terjadi. Dan, keluarga Pak AR pun memakluminya.

Bu Qom pun tak pernah menanyakan apakah ada amplop atau bingkisan dari pengundang ceramah tadi. Padahal, tempat ceramah Pak AR kadang jauh sekali, di pelosok desa di Kabupaten Purworejo, Kebumen, bahkan Purwokerto.

Semua itu dijalani Pak AR dengan ikhlas meski harus menggowes sepeda ontel puluhan kilometer.

Keringat Pak AR pun membasahi seluruh tubuhnya. Panas terik atau hujan lebat bukan penghalang bagi Pak AR untuk berdakwah dan menyebarkan kesejukan Islam di mana saja.

Melihat kondisi seperti itulah, seorang saudagar kaya asal Yogya, Pak Prawiroyuwono kasihan kepada Pak AR.

Pak Prawiroyuwono pun membelikan sepeda motor Yamaha 70 CC warna oranye untuk mempermudah mobilitas Pak AR dalam berdakwah. Sepeda motor itulah yang dipakai Pak AR untuk berdakwah dan keperluan sehari-hari hingga beliau wafat.

Jadi, motor Yamaha 70 CC warna oranye yang sering dikira milik satu-satunya Pak AR itu, ternyata pemberian orang. Pemberian Pak Prawiroyuwono. Pak AR tak sanggup membeli motor itu.

Meski miskin, Pak AR tidak pernah tertarik dengan iming-iming harta. Sebagai pimpinan Muhammadiyah, beliau sering diberi uang jutaan oleh para pejabat dan pengusaha.

Orang-orang kaya itu titip uang kepada Pak AR untuk disampaikan kepada Muhammadiyah. Jumlahnya kadang puluhan atau bahkan ratusan juta rupiah. Sampai di rumah, uang itu segera disampaikan kepada Muhammadiyah dan fakir miskin di sekitarnya tanpa sisa.

Sampai-sampai Mas Fauzi, putra bungsunya, pernah nyeletuk: “Talang kok ora teles?” (talang kok tidak basah?).

Yo ben, wong iki talang plastik,” timpal Pak AR (Biar saja, wong ini talang plastik).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement