Jumat 08 Mar 2019 19:49 WIB

Beban Ganda dan Diskriminasi Kerja Bagi Perempuan Indonesia

Perempuan Indonesia menghadapi beban ganda tapi tetap diupah kecil dibanding pria.

Rep: Rossi Handayani / Red: Nur Aini
Hari Perempuan Internasional. Aktivis perempuan melakukan aksi di depan Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/3/2019).
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Hari Perempuan Internasional. Aktivis perempuan melakukan aksi di depan Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang Psikolog, Jackie Viemilawati sudah bangun dari jam 5.30 pagi setiap harinya. Kemudian ia bergegas menyiapkan keperluan sekolah anaknya.

Viemilawati memastikan anaknya mandi, dan sarapan sebelum pergi sekolah, lalu menyiapkan tasnya sebelum berangkat bersama neneknya pada 6.15. Setelah itu, Viemilawati berangkat pergi ke kantor.

Baca Juga

"Butuh empat jam bagi saya untuk bekerja dan kembali. Saya naik kereta komuter dan kemudian minibus," kata Viemilawati, yang berusia 41 tahun, ketika Aljazirah menemuinya di kantornya di Jakarta Selatan.

Untungnya, tempat ia bekerja menawarkan jam kerja yang fleksibel bagi seorang ibu. Meskipun memiliki gelar Master dari University of London School of Oriental and African, Viemilawati hanya menghasilkan 10 persen dari penghasilan suaminya sebagai pegawai lokal di sebuah badan PBB.

"Pekerjaan saya pada dasarnya adalah pekerjaan sosial dengan upah kecil sebagai bonus. Jika saya dipecat besok, saya tidak akan mendapatkan uang untuk saya. Tidak ada uang, tidak ada jaminan sosial. Gaji saya tidak memenuhi kebutuhan keluarga saya," ungkap Viemilawati.

Survei terbaru terkait upah perempuan menemukan, kesenjangan pembayaran dengan laki-laki di tingkat senior, kecil. Namun, kenyataannya sebagian besar perempuan Indonesia tidak hanya berpenghasilan lebih rendah dari suami, dan kolega laki-laki mereka, tetapi mereka juga diharapkan untuk menjaga rumah, anak-anak, dan seringkali bahkan orang tuanya yang sudah lanjut usia.

Orang Indonesia menyebutnya dapur, sumur, kasur, kemudian dapur, sumur, dan kasur lagi, tempat tradisional perempuan di masyarakat Tanah Air.

Sebuah laporan 2017 dari Kemitraan Australia Indonesia untuk Tata Kelola Ekonomi menemukan, dalam pekerjaan, upah rata-rata per jam perempuan Indonesia adalah antara 70 dan 80 persen pria. Penelitian tentang pekerja garmen perempuan oleh International Labour Organization pada 2014 juga memiliki temuan yang serupa, hasilnya perempuan secara teratur berakhir dengan upah antara 10 dan 20 persen lebih rendah daripada pria.

Bagi para profesional, survei upah gender oleh perusahaan rekrutmen Korn Ferry menunjukkan, ekonomi Indonesia yang berkembang pesat tampak menguntungkan bagi perempuan, dengan kesenjangan keseluruhan lima persen, dibandingkan dengan rata-rata 16 persen secara global, dan 15 persen di Asia. Perempuan di level yang sama sebenarnya berpenghasilan 1,2 persen lebih tinggi dari rekan pria mereka.

Tetapi seperti diakui Korn Ferry, angka saja tidak melukis gambaran lengkap. Perempuan juga berjuang melawan kurangnya transparansi seputar gaji. Di Indonesia, upah tidak diiklankan atau dibakukan, banyak pengusaha mengabaikan upah minimum regional, sementara yang lain berdasarkan penawaran pada riwayat gaji.

"Langkah-langkah untuk upah yang sama untuk pekerjaan mungkin cukup akurat, tetapi dalam diri mereka sendiri, itu bukan indikator yang baik untuk menangkap tingkat ketidaksetaraan gender di pasar tenaga kerja," ujar Ariane Utomo, seorang dosen demografi di Universitas Melbourne.

Ia mengungkapkan, dengan membandingkan upah manajer pria dan wanita itu menyesatkan. Alasannya, sebagian besar wanita tidak berhasil naik ke jenjang karier, atau telah keluar dari angkatan kerja sebelum mencapai usia 40 tahun. Seperti yang ditunjukkan oleh Utomo, perempuan menghadapi beban ganda, bagaimana mengerjakan pekerjaan penuh waktu sambil mengurus rumah tangga, suami, dan anak-anak mereka.

Tingkat partisipasi angkatan kerja Indonesia untuk perempuan hanya 51 persen, dibandingkan dengan 80 persen untuk laki-laki, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional. Di Vietnam, 73 persen wanita bekerja di luar rumah. Beberapa perusahaan Indonesia menawarkan fasilitas seperti, pusat penitipan anak atau ruang menyusui yang akan membantu perempuan tetap bekerja dan jam kerja yang fleksibel tetap langka.

Pemerintah berusaha mendorong bisnis untuk mengembangkan fasilitas semacam itu, tetapi dengan sedikit insentif, implementasinya lambat bahkan di kantor-kantor pemerintah sendiri.

Keluarga yang mampu membayarnya sering mempekerjakan staf rumah tangga untuk membantu. Viemilawati memiliki pekerja rumah tangga yang membantu di rumahnya. "Namun, kami membuat keputusan sadar untuk tidak memiliki pengasuh. Kami ingin menjaga putra kami sendiri, dan beruntung ibuku juga tinggal bersama kami," kata dia.

Ia hampir selalu langsung pulang tepat waktu setelah bekerja. Berbeda dengan suaminya, yang biasanya pergi ke gym atau bertemu teman sebelum pulang. Namun ia berusaha pulang sebelum putranya tertidur setidaknya tiga kali sepekan.

Evi Mariani, redaktur pelaksana di The Jakarta Post, outlet media berbahasa Inggris terbesar di Indonesia, menyadari ketika dia memiliki bayi, ia tidak dapat terus bekerja tanpa pengasuh anak. "Jam kerja saya bukan sembilan sampai lima, dan hanya ada sedikit tempat penitipan anak," katanya.

Mariani dan suaminya memutuskan untuk mempekerjakan Yuni, seorang ahli dalam merawat balita, lima tahun lalu ketika putra mereka lahir. Namun Yuni sekarang juga membantu memasak, membersihkan, dan mencuci pakaian juga. Mariani memperkirakan keluarganya menghabiskan sekitar seperempat dari pendapatan mereka untuk bantuan rumah tangga.

"Tetapi saya juga memiliki rasa bersalah ini. Saya tahu dia meninggalkan anak-anaknya di desanya. Saya merasa sangat bersalah tentang ini," kata Mariani.

Sekitar 80 persen perempuan di rumah tangga kurang mampu di Indonesia bekerja baik itu di rumah orang lain, sebagai petani, nelayan, penjahit, pekerja harian, atau bahkan menjaga kios atau kios makanan di depan rumah mereka.

Akan tetapi bahkan ketika bekerja, penghasilan mereka dipandang sebagai tambahan untuk penghasilan suami mereka. Bahkan hal itu tetap terjadi saat mereka telah menjadi orang yang sepenuhnya mendukung rumah tangga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement